Saat aku memasuki kamar, kulihat Bia terisak tanpa suara di tempat tidurku. Mengubur wajahnya pada bantal. Seperti perintah Mas Yozha, Bia sudah mengganti pakaiannya. Pasti dia merasa terhina diperlakukan seperti itu di depan orang lain. Aku menghela nafas.
Mendekati Bia, kuletakan se-bucket es krim yang sempat kubawa dari dapur, dan duduk di pinggir tempat tidur, ku elus kepalanya dengan sayang. "Bi, maaf ya Mas Yozha kayak gitu." Ucapku, mengambil tisu di atas nakas dan mengulurkan padanya. Bia menoleh, mengambil tisu itu selembar dan mengusap air matanya. "Niat Mas Yozha baik kok, walau mungkin cara dia salah."
Bangun, Bia kemudian duduk di depanku, menarik tisu lebih banyak dari kotaknya. "Justru karena gue tahu dia baik, makanya bikin gue tambah frustasi." Suaranya sengau, lalu menyisihkan hidungnya. "Mungkin gue-nya aja yang terlalu perasa. Ini salah gue."
Aku menarik Bia ke dalam pelukanku, gadis itu kembali terisak. Ku elus rambutnya yang terurai hingga ke punggung, sanggulnya terlepas entah sejak kapan. "Seperti yang lu bilang, kadang Mas Yozha kurang peka."
"Lu juga kurang peka." Masih terisak, tapi aku bisa mendengar nada humor dari suara Bia.
Aku mendorongnya, dan dia tersenyum. "Kalau gue kurang peka, gue gak akan bawain es krim ke sini."
Mata Bia membulat. "Es krim? Dimana?" Mengedarkan pandangannya, Bia mencari.
Aku buru-buru menahan wajah gadis itu, kalau dia menoleh sedikit dia akan melihat es krim yang kuletakan di atas nakas. Dan aku berencana untuk sedikit ngembek sebentar sebelum menyerahkan kudapan itu. "Gak ada es krim, kan lu bilang gue kurang peka."
Bia menyingkirkan tanganku dari wajahnya, dan dia menoleh. Ekspresinya berubah senang, menarik bucket es krim itu, dan meletakannya di antara kami. "Lu emang sahabat yang terbaik, Ra!" Ujarnya senang, meski sisa-sisa air mata masih berkilau di matanya.
Aku membalas senyum gadis itu, dan memberikan satu sendok yang kubawa padanya. Lalu menyuapkan sesendok penuh ke mulutku sendiri. "Es krim adalah pengobat hati paling mujarab."
Bia mengangguk, dan ikut menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. "Es krim, perempuan, dan air mata. Adalah teman yang gak bisa dipisahin."
"Karena laki-laki bodoh." Aku menyeringai.
"Karena laki-laki bodoh." Bia menyetujui.
***
Aku tengah mengunyah keripik kentang dan menonton drama korea ketika Mama pulang dan meletakan sekotak kue. Matanya memandang berkeliling, mencari-cari. "Bia mana? Mama bawain cheesecake nih."
Aku menoleh, tepat ketika kulihat Mas Yozha tengah berjalan menuju dapur. "Tanya aja Mas Yozha, Ma. Dia yang ngusir." Ujarku keras.
"Di usir?"
Mas Yozha berbalik. "Kapan Mas ngusir Keira, Dri?"
Berdiri, aku menghadap Mas Yozha. Tangan di pinggang, amarah meluap-luap di hatiku. "Itu sama aja ngusir Mas!"
Mas Yozha menghela nafasnya, dan jalan mendekat. "Mas gak ngusir dia, Mas aja bahkan gak tahu kapan dia pulang."
"Ya gimana Mas mau tahu, kalau Mas sibuk ngurusin cewek Mas itu!"
"Dria! Sopan sedikit!"
"Aku gak mau ya, sopan-sopan sama cewek kayak dia!"
"Dria!"
"Hentikan! Dria! Yozha!" Mama memposisikan dirinya di tengah, memandangiku dan Mas Yozha secara bergantian. "Sebenarnya ini ada apa? Kenapa kalian tiba-tiba bertengkar seperti ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...