Ditya tengah mengetikan bahan ajar di laptopnya ketika ibunya masuk tanpa pemberitahuan. Berdiri di depan meja pria itu dengan wajah tertekuk penuh pikiran. Ditya menutup laptopnya dan berdiri, mengarahkan ibunya untuk duduk di kursi.
"Kenapa, Ma?" Tanyanya, khawatir. Ingat bahwa siang tadi sang ibu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan rutin ayahnya. "Papa baik-baik aja?"
Anita menatap anaknya penuh pergulatan batin, tapi kemudian dia menghela nafas, tampaknya telah memutuskan sesuatu. "Papa minta kamu untuk segera menikah. Jadi Mama mau ngenalin kamu sama anak teman Mama, kamu mau kan?"
***
"Ditya, barusan teman Mama ngirimin foto anaknya." Anita memasuki ruang kerja Ditya, tersenyum sambil mencari-cari sesuatu di dalam ponselnya.
Ditya tak mengalihkan mata dari buku yang tengah dia baca, meski sekarang dia tak lagi berkonsentrasi seperti tadi.
Anita menghampiri anak laki-lakinya itu, dan menyodorkan ponselnya. Sementara Ditya melirikpun tidak. "Coba kamu lihat dulu, anaknya manis. Masih kuliah, tapi bentar lagi lulus."
Menghela nafas, Ditya bangkit dari duduk. Membuat Anita agak terkejut. Dipandanginya ibunya dengan kesabaran yang ekstra. "Ma, kita sudah pernah bicarain ini, aku belum mau menikah. Lagipula dia masih kuliah? Kerjaanku itu dosen, Ma, mana bisa aku menjalin hubungan dengan mahasiswa. Kenapa Mama gak ngenalin dia ke Andra aja?"
Menggertakan gigi, Anita melipat tangannya di dada. Tak lagi semangat menunjukan foto calon yang dia pilihkan untuk Ditya. Wajahnya terangkat, menghadap anak laki-lakinya yang entah sejak kapan menjadi setinggi itu. "Kamu itu cuma banyak alasan, Ditya! Mama tahu kamu belum bisa ngelupain Luna. Mama juga sayang sama dia, tapi kita gak bisa terus-terusan seperti ini. Kamu gak bisa terus-terusan seperti ini!" Ujar wanita paruh baya itu tegas. Kemudian dia berbalik menuju pintu. "Pokoknya Mama gak mau tahu, mau gak mau Mama udah pilih anak teman Mama itu buat jadi calon kamu. Jadi jangan buat Papa kamu kecewa dan Mama jadi malu." Dan dengan kalimat itu, Anita pun keluar dari ruangan anak sulungnya.
Ditya kemudian menjatuhkan tubuhnya kembali pada kursi yang semula dia duduki. Memijat kepalanya yang tiba-tiba menjadi pusing. Ibunya salah, dia memang masih mencintai Luna, tapi bukan gadis itu yang tengah memenuhi kepalanya sekarang. Seorang gadis lain, yang wanginya seperti makanan penutup dan mampu menghancurkan ketenangannya.
***
"Pagi, Pak." Roza memasuki ruangan, menyapa dengan ceria sebelum meletakan sebuah cup kertas tinggi di depan Ditya. "Espresso." Ujarnya singkat.
Ditya mengalihkan perhatiannya dari buku, dan melirik cup kertas itu. Mengernyit bingung, namun tetap meraih dan meneguknya. Sebelumnya latte, sekarang espresso. Bagaimana Ditya harus menanggapi ini? Pria itu meraih bukunya, namun pikirannya tak lagi pada kata-kata yang tertulis di sana. Alih-alih, laki-laki bermata cokelat itu melirik gadis yang kini tengah menyiram bunga miliknya. Dan dia tersenyum--samar.
Kembali pada buku saat sang gadis berbalik, Ditya membalik halamannya. Sementara Roza mengambil makalah yang terakhir dia periksa. "Pak, jangan terlalu dekat ngeliat bukunya. Nanti sakit lho matanya."
Ya, dia bukan Luna. Tapi itu tak masalah.
***
Anita memandang Ditya dengan wajah kesal, sementara anak yang ditatapnya masih dengan santai memakan santapan makan malam mereka. "Ditya, sabtu ini kamu temuin anaknya Tante Sherina ya."
Ditya tak jadi memasukan sendok ke dalam mulutnya, mata cokelat pria itu memandang ibunya yang menatapnya tegas. "Anaknya siapa, Ma?" Diletakannya kembali sendok itu ke atas piring.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
Roman d'amourHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...