LI

31.1K 2.2K 174
                                    

Aku menatap ponselku dengan perasaan campur aduk, menggigit kuku ibu jari tanda kegugupan dan tak tenang. Detik-detik yang berlalu terasa panjang, dan penantianku itu mengerikan. Aku menghela nafas, sungguh ini menyiksa!

Setelah kejadian di ruang tamu tadi siang, rasa-rasanya aku bahkan tak akan sanggup bertemu dengan keluarga Pak Ditya untuk kedua kalinya. Bagaimana bisa aku jatuh kedalam permainan Andra?! Yah, meskipun mungkin sebagian itu memang salahku. Seharusnya aku tidak memutuskan secara sepihak begitu. Lagipula kalau kupikir-pikir lagi, mungkin memang benar bukan Andra yang salah. Akunya saja yang salah paham.

Tapi seharusnya dia ngasih tahu gue! Bukannya malah mengerjain gue! Dasar rese!

"Duh! Ngaku-ngaku jadi pacarnya Pak Ditya itu bikin malu banget!" Aku menutup wajah dengan bantal, dan berteriak. Kalau kuingat lagi, kok bisa-bisanya aku berpikir mengaku sebagai pacar Pak Ditya ide yang bagus saat itu. "Hhh..." Menghela nafas, aku mengintip kepada ponselku yang tak ada reaksi. Bukankah seharusnya sekarang Pak Ditya sudah menghubungiku? Setelah pertemuan keluarga tadi, kami ini resmi kan?

Jadi, kenapa ponselku tetap bergeming?

TING!

Nyaris meloncat dari tempat tidur, aku meraih ponsel dengan ketergesaan seakan menerima hasil masuk ujian SIMAK. Dalam hati aku merutuk, setelah menunggu segini lamanya akhirnya Pak Ditya menghubungi ku juga.

--atau tidak.

+6281xxxxxxxx
Dana Tunai (KTA) bunga 0,99% hingga 300 jt. Syarat KTP & CC. Dgn BPKB rate 0.99% 3 hari CAIR . hub ADI 081xxxxxxx (WA).mhn maaf bila menggangu.

Lempar gak nih hp?!

***

"Terus, dia belum ada ngehubungi lu sampai sekarang?"

Aku mengunyah keripik kentang dengan ganas, sementara tanganku sibuk mengganti saluran televisi, dari handsfree yang kupasang, aku bisa mendengar suara Bia yang bersemangat. "Boro!" Ujarku kesal. "Lu tahu gak?! Gue tuh sampai gak tidur semalaman gara-gara nungguin dia ngehubungi gue, tapi sampai detik ini nihil!" Aku berhenti pada siaran gosip, meskipun perceraian salah satu artis tidak menjadi minatku saat ini.

"Ya kalau gitu kenapa gak lu yang ngehubungi dia duluan?" Ujar Bia enteng.

"Ya kali, Bi. Gengsi lah gue! Gini-gini kan gue cewek konservatif." Padahal kemarin tanganku udah gatel ngetik pesan buat Pak Ditya.

"Ya terus mau gimana? Ngehubungi duluan gak mau, tapi lu nya misuh-misuh gak jelas gini. Kan lu tau sendiri, Pak Ditya gak mungkin tiba-tiba nelponin lu tanpa ada perlu. Ooc tahu gak!"

"Ooc?"

"Out of character!"

Aku memutar mataku, walau aku tahu Bia tidak akan bisa melihatnya. "Tapi kan sekarang beda, Bi. Gue ini--gue ini..." Lalu aku terdiam, tidak sanggup mengatakan lanjutannya. Baru memikirkannya saja wajahku rasanya sudah panas. Kayak anak abg aja. Sigh.

"Lu apa? Pacarnya? Tunangannya?"

Aku menggigit bibir, dan mengangguk yakin wajahku sudah merah padam. Untunglah percakapanku dengan Bia ini hanya terjadi lewat telepon, aku tidak bisa tidak berpikir bahwa dia tidak akan meledekku habis-habisan jika melihat itu. "Gue ini--resmi." Bisikku malu.

"Hah? Apa? Resmi? Udah kayak garansi hape aja."

Cemberut, aku kembali mengunyah keripik kentang. Tapi kalau dipikir-pikir, benar juga hubungan kami ini sebenarnya apa sebutannya? Apa iya aku tunangannya? Atau pacarnya? Tapi bukannya kalau pacaran itu harus di tembak dulu?!

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang