Pelajaran kewirausahaan lewat begitu saja, aku bahkan tak menyadarinya sampai ketika suara-suara bangku bergeser yang memenuhi kelas itu mengganggu lamunanku. Lalu, seperti orang bodoh aku menoleh ke kiri dan kanan, hanya untuk memastikan teman-temanku mulai keluar kelas satu persatu.
"Ya ampun, Bi! Gue ga dengar tadi Pak Roni ngomongin apa aja. Nanti pinjam catatan lu ya?" Mengusap-ngusap wajahku, dan menepuk-nepuk pipiku, aku berusaha mengembalikan kesadaran ku pada realita.
"Ya gimana lu mau ngedengerin, orang sepanjang kuliah lu nyaris netesin air liur! Tidur dengan mata terbuka?" Sindir Bia, yang berjalan keluar kelas.
Terburu-buru aku mengikutinya dari belakang. Heran juga bagaimana Bia selalu menangkap ku ketika sedang melamun. Seakan-akan dia hanya memperhatikan ku sepanjang kuliah alih-alih dosen di depan kelas. "Gue kurang tidur." Ujarku asal. Meski tak sepenuhnya bohong, tadi malam aku memang tidak bisa tidur.
Bia mengedikan bahu. "Belakangan ini alasan lu kurang kreatif, Ra." Nadanya datar, dan aku mendengus. Bia lalu menaikan alisnya. "Kemarin lu juga pakai alasan itu ke Pak Ditya." Tambahnya lagi, menoleh kepadaku.
Aku menggigit bibir, dan meraih lengannya, bergelayut manja. Mendengar nama Pak Ditya tiba-tiba saja aku merasa jengah. "Gue emang gak bisa tidur kok." Ucapku, memandang Bia yang memutar bola matanya.
"Emang kenapa lu gak bisa tidur?"
"Mikirin gue ya?" Revan, yang entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah mengacak-acak rambutku.
Aku menghindar, menepis tangannya dengan kasar lalu berdiri tegak, tak lagi memeluk tangan Bia. "Oh, udah mau negur?" Sindir ku, mengingat kemarin pemuda itu mendiami ku tanpa alasan.
Revan cengengesan, dan mengeluarkan sekotak cokelat almond dari dalam tasnya. Aku meliriknya, namun berusaha tak terpengaruh. "Sorry deh, kemarin gue lagi banyak pikiran. Kalau lu mau maafin gue, gue udah siapin cokelat nih." Ucapnya, mengiming-imingi.
Mendengus kasar, berpura-pura cemberut aku mengambil kotak cokelat itu dari tangan Revan, yang membuat pemuda itu kemudian tertawa dan untuk kedua kalinya mengacak-acak rambutku yang di ikat satu. Yakin kini ikatannya tak lagi utuh!
"Cuma Rora aja nih yang di kasih? Buat gue mana?" Bia, mengulurkan tangannya dengan wajah galak, macam kakak kelas yang sedang malakin juniornya.
"Kan! Gue tau pasti lu juga pada minta." Suara Revan terdengar pasrah, kembali membuka ranselnya, mengambil dua batang cokelat dan memberikannya satu untuk Bia, sementara yang satu lagi untuk Eva yang ternyata mengikutinya dari belakang.
"Lho, Eva juga dapat?" Ujar Eva terkejut, mengambil cokelat dari tangan Revan.
Revan tertawa dan merangkul Eva, menariknya berjalan bersisian bersama aku dan Bia. "Ya sayangku Eva masa iya kelewat, enggak mungkinlah." Ujar Revan, seperti biasa flirting sana-sini berlagak jadi playboy padahal pacar saja tidak punya.
Eva tersenyum kecil, memandang cokelatnya. "Thanks ya, Revan." Ucapnya. Kadang, Eva selalu membuatku merasa sayang di waktu-waktu yang tak terduga. Sifatnya yang pemalu dan sopan menimbulkan perasaan ingin melindungi. Seperti saat ini, selalu senang melihat gadis itu tersenyum hanya karena hal-hal kecil.
Kurasa Revan pun merasakan hal yang sama, karena pemuda itu kemudian mengangguk-angguk dengan bangga, seakan sudah menyumbang demi kemaslahatan warga Afrika yang kekurangan air bersih!
"Ok, ok, mungkin Eve bisa senang cuma gara-gara sebatang cokelat. Tapi gue enggak, Van! Kenapa lu ngasih kita cuma sebatang, tapi Rora sekotak?" Bia, yang kemudian menghalangi jalan Revan, berdiri di depannya sambil berkacak pinggang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Innocent Heart (TAMAT)
RomanceHighest Rank #15 in ChickLit (25/06/2018) "Pasal satu, dosen selalu benar. Pasal dua, jika dosen salah, harap kembali ke pasal satu." Menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja, adalah apa yang kupikir akan kujalani di semester lima ini. Siapa sangka k...