XIX

32.9K 2.5K 48
                                    

Aku mengetuk pintu ruangan Pak Ditya dengan susah payah. Sementara kedua tanganku penuh dengan makalah yang akan ku kembalikan. Tapi pintu itu bergeming, aku bahkan tak mendengar suara apapun dari dalam. Mengetuk sekali lagi dan memanggil nama Pak Ditya, ku tempelkan telingaku pada daun pintu, mencari tanda-tanda kehidupan di dalam. Tapi nihil, dan itu membuatku kecewa.

Sebentar lagi aku ada jam kuliah, dan rasanya malas membawa makalah-makalah ini ke kelas. Merepotkan. Padahal kemarin kupikir dia yang bolak-balik menyuruhku untuk mengembalikannya pagi-pagi.

Kesal, dengan iseng kutarik gagang pintu kebawah. Kalau pintu ini terbuka secara ajaib, setidaknya aku bisa meninggalkannya di dalam dan pergi ke kelasku dengan bebas.

Dan aku tak percaya dengan keberuntunganku! Pintu itu terbuka!

Tersenyum tipis, aku pun masuk kedalam, menutup kembali pintunya agar tak ada yang melihatku masuk ke ruang dosen tanpa ijin, misiku cuma satu. Meninggalkan makalah ini di meja Pak Ditya, kemudian keluar. Tapi ketika aku berbalik dan melihat meja Pak Ditya aku terdiam. Ruangan ini bukannya tak berpenghuni, tapi Pak Ditya tengah tertidur di mejanya.

Menahan nafas, aku melangkah pelan-pelan. Tak ingin Pak Ditya terbangun, dan mendekatinya. Meletakan makalah ditanganku di ujung meja, mataku tak lepas memandang Pak Ditya. Pria itu tertidur dengan satu sisi wajah di atas tangannya yang terlipat. Aku bertanya-tanya, apakah dia tidak khawatir meninggalkan jejak di wajahnya ketika terbangun nanti?

Aku tersenyum, Pak Ditya tampak sangat muda jika tertidur seperti ini. Dia akan salah dikira sebagai mahasiswa jika tidak ada yang mengenalnya.

Berjongkok di depan mejanya, aku memperhatikan wajahnya dengan seksama. Bulu matanya yang panjang, poninya yang menutup sebagian matanya, hidungnya yang mancung, bibirnya yang merah dan tak terlalu tipis, sekarang aku bisa melihat apa yang disukai anak-anak perempuan di kelasku padanya. Jika aku tak terlalu mengenalnya, mungkin akupun bisa jadi menyukainya.

Suara notifikasi ponselku kemudian mengejutkanku. Buru-buru aku bangkit, dan hati-hati tetap menatap Pak Ditya, berjaga-jaga kalau dia terbangun. Tapi syukurnya, pria itu masih tertidur. Jadi pelan-pelan akupun menuju pintu, lebih baik dia tidak tahu kalau aku di sini. Entah apa yang akan dia lakukan jika dia sadar. Memotong nilaiku mungkin?

Membuka pintu dengan perlahan, aku berniat keluar dari ruangan itu dengan diam-diam. Tapi untuk kedua kalinya pagi itu, aku malah justru terpaku, mataku membulat. Bu Layla berdiri di depanku, dengan tangan terangkat mungkin hendak mengetuk pintu. Dahi dosen wanita itu berkerut, memandangku dengan curiga.

"Mawar? Sedang apa kamu?" Bu Layla melongokan kepalanya, melihat ke belakangku.

Aku baru mau membuka mulutku untuk menjawab, tapi suara gerakan di belakangku mengejutkanku. Tanpa berbalikpun aku tahu kalau Pak Ditya terbangun, dan itu membuat tubuhku dingin seketika.

"Bu Layla?" Suara Pak Ditya serak, dan dia berdehem.

Bu Layla kemudian masuk--sedikit mendorong ku untuk lewat--dan menuju Pak Ditya. "Pak Ditya, maaf saya bertanya ini, kenapa Mawar ada di sini?"

"Mawar?" Suara Pak Ditya terdengar linglung, mungkin nyawanya belum kumpul semua.

Aku menarik nafas panjangku, dan berbalik menghadap mereka. Memaksakan senyum di wajah. "Saya datang untuk menyerahkan makalah, Bu. Pak Ditya minta makalah itu di serahkan pagi-pagi." Ujarku terdengar tak meyakinkan. Meskipun aku sungguh tak berbohong.

Bu Layla menatapku curiga, kemudian kepada Pak Ditya yang tengah melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya. "Tapi tadi Pak Ditya bukannya lagi--"

"Saya yang memintanya, Bu Layla Putri." Ujar Pak Ditya terdengar lelah. Kemudian dia menatapku. "Kalau urusan kamu sudah selesai, kamu boleh pergi." Tambahnya, tegas dan tak terbantah.

Innocent Heart (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang