"Woy bayar uang kas woy! Yang nggak bayar, siap-siap namanya gua catet terus gua kasih ke kepsek!"
Suara itu berasal dari salah satu penghuni kelas ini. Itu suara si ibu pajak—sebutan untuk bendahara kelas ini. Namanya Aura. Bendahara tergalak yang pernah aku temukan seumur hidupku. Setiap kali nagih uang kas, ancemannya pasti bawa-bawa kepsek. Dan itu pasti ampuh bikin teman-temanku pada bayar kas.
Soalnya Aura itu katanya sodara jauhnya Ibu Kepsek di sini.
Aku si percaya nggak percaya ya.
Nggak tau Auranya yang kelewat pinter atau temen-temenku yang lain yang kelewat bego. Mereka nggak sadar apa ya? Ngapain juga kepsek turun tangan cuman buat hal yang menurut dia nggak terlalu penting seperti ngurusin uang kas kelas.
Memangnya kepsek ga ada kerjaan apa sampe meriksain uang kas kelas.
Dan kalo Aura udah mengikrarkan buat semuanya bayar kas, pasti meja dia—yang juga mejaku, karena kami semeja— jadi rame didatengin anak sekelas.
Aku menyingkir dari tempatku. Duduk di tempat Oja yang tempatnya di pojok deket pintu. Nungguin Aura selesai mencatat nama-nama yang sudah membayar kas.
"Samsul ini duit lo kurang, lo kan minggu kemaren nggak masuk, jadi harus bayar dobel!" Aura ngomel lagi ke Samsul yang baru mau pergi dari tempatku.
"Yaelah Ra, gua nggak bawa duit. Entar kalo gua bayarin buat kas semua, gua nggak jajan."
"Nggak ada! Lo harus bayar hari ini juga! Atau gue laporin lo ke Bu Ning, kalo lo nggak bayar kas karena duitnya buat beli rokok!"
Selalu seperti itu. Temen semeja ku itu kalo debat memang nggak ada yang bisa ngalahin. Cerewet abis anaknya. Akhirnya karena takut di aduin sama Aura ke Bu Ning—Kepsek disini, Samsul ngeluarin uang pecahan dua ribuuan dua dan seribu logam satu.
"Nah gitu dong dari tadi. Kan gue nggak perlu narik urat segala!" Aura tersenyum senang. Oh jelas! Salah satu kebahagiaan seorang bendahara adalah melihat uang yang menumpuk di dompetnya.
Aku balik ke tempat ku saat Oja, yang punya tempat udah selesai membayar kas.
"Mana duit kas lo?" Aura menengadahkan tangannya didepan ku.
"Sabar si Ra, baru juga gue duduk, udah dimintain aja!" Aku ngedumel sambil tanganku mencari-cari dompet berwarna biru didalam tas yang berwarna sama.
"Deeuuhh foto abang gue banget yang lo taro di dompet?" Aura menarik paksa dompet yang ada ditanganku, dan mengeluarkan foto Bara dari tempatnya. Seingatku, aku nggak pernah naruh foto Bara di dompet. Ya aku memang memiliki beberapa foto Bara, tapi nggak cukup berani untuk menaruhnya di dompet. Jadi itu sudah pasti kerjaan Putih. Adik terkasihku.
Heuh! Untung Aura yang liat, coba kalau orang lain? Atau yang lebih parahnya, bagaimana kalau Bara yang lihat? Aku kan malu! Nanti disangkanya aku ngaku-ngaku pacarnya Bara tapi Baranya sendiri tidak mengakui.
"Ya masa foto elo yang gue taro? Unfaedah banget!" Aku menarik kembali dompet dan foto itu. Lalu mengeluarkan uang selembar nominal lima ribu. Nggak penting juga menjelaskan tentang foto itu pada Aura, toh dia nggak akan percaya. Aura pasti berfikir aku yang ngeles.
Aura atau Rara, cewek yang dijuluki ibu pajak—sebagian malah ada yang menyebutnya debt collector— itu temanku dari kelas 10. Dia adalah adik kandung dari cowok yang fotonya ada di dompet tadi. Namanya Bara, Muhammad Bara Pratama. Cowok ganteng yang pertama kali aku liat, langsung aku taksir.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Fiksi Remaja"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...