Aku berjalan mengendap-ngendap untuk masuk ke kelas 12 IPA 2. Kelasnya Bara. Hari ini, kelas itu ada pelajaran olahraga di jam pertama. Seperti yang sudah-sudah, aku akan menaruh sebotol air mineral yang baru aku beli di kantin tadi dan sebungkus roti rasa coklat di atas meja Bara.
Aku melakukannya diam-diam. Tanpa ada seorang pun yang tau, termasuk Rara, Sarah dan Putih. Tiga orang yang rela telinganya aku jejali cerita-cerita khayalan aku dan Bara.
Kegiatan rutin selama seminggu sekali ini—soalnya kalau setiap hari, aku bisa tekor, uang jajan ku kan nggak sebanyak Sarah—baru aku lakukan saat aku kelas 11 dan Bara kelas 12. Aku berpikir, kalau Bara sudah lulus dan nggak satu sekolah lagi dengan ku, pasti aku akan rindu. Meskipun aku sahabatan dengan Rara, dan tetap akan mendapat info tentang cowok itu dari Rara, tetap saja aku harus mengumpulkan kenangan-kenangan tentang aku dan Bara.
Ya meskipun kenangan ini hanya akan di ingat dari pihak ku saja. Karena Bara jelas tidak tau kalau aku yang menaruh minum dan roti itu di mejanya.
Suatu saat nanti, pasti aku akan merindukan rasa berdebar di dada saat aku mengendap-endap memasuki kelas Bara ini.
Seperti biasa, kelas itu masih sepi. Belum ada yang datang.
Aku memang setiap hari Rabu, selalu datang lebih awal dari hari biasanya demi kesuksesan rencanaku ini. Dan lagi, anak-anak kelas 12 itu biasanya datang ke sekolah itu pada ngaret.
Semakin tinggi tingkatan kelasnya, semakin ngaret mereka datang ke sekolah. Anak kelas 12 kalau telat, guru-guru pada serba salah.
Kalau tidak diperbolehkan masuk, mereka akan ketinggalan pelajaran untuk ujian. Tapi kalau dibiarkan masuk, nggak akan ada efek jeranya.
Nah yang seperti itu biasanya guru-guru yang nggak tegas. Nggak tegaan sama anak murid.
Tapi kalau guru killer yang sedang piket, mau anak kelas 10, 11 atau 12, tetap harus di beri hukuman dulu, baru di perbolehkan masuk kelas.
Awalnya saat pertama kali terpikirkan untuk menaruh minum di meja Bara itu, aku berniat menaruh botol minum tupperware warna biru kesukaanku, tapi niat itu aku urungkan karena jelas, Mama akan mengomel kalau salah satu botol tupperwarenya hilang. Dan aku juga nggak mungkin minta Bara mengembalikan botol itu, jelas itu rencana yang sangat bodoh. Kalau aku minta dikembalikan botolnya, nanti Bara tau dong kalau aku yang menaruh minum itu.
Aku kan ceritanya mau jadi secret admirer gitu.
Ya meskipun aku tau kalau Bara pasti sudah tau kalau aku naksir dia dari kelas 10.
Tapi yang penting, dia nggak tau kalau aku yang menaruh minuman dan roti ini.
Aku meletakan botol air mineral dan roti di tempat yang sudah aku hafal di luar kepala. Barisan paling jauh dari pintu, dan baris ke dua dari depan. Tempat Bara itu di pojok, mepet dengan tembok.
Pertama kali, jelas aku tempel notes di badan botol air itu dengan tulisan 'Bara'. Iya itu saja. Yang penting minuman dan roti yang aku taruh tidak salah sasaran. Nanti di sangkanya itu bukan untuk Bara dan malah untuk Ka Alan lagi. Teman semeja Bara.
Aku keluar lagi dengan mengendap-endap, lalu tiba-tiba aku terpikirkan kenapa harus mengendap-endap? Bukankah nggak ada orang di kelas ini? Juga nggak ada yang akan melihat aku kan? Loh? Jadi selama ini aku selalu mengendap-endap itu nggak ada gunanya ya?
Oalah baru sadar aku.
Karena mengendap-endap ternyata nggak ada gunanya, aku langsung lari keluar dari kelas Bara dan turun ke lantai 2, tempat kelas ku berada.
***
Kebiasaan buruk aku yang suka lupa mengisi paket internet, baru terasa merugikan sekarang. Aku nggak ada kuota untuk memesan ojek online. Rara sudah pulang duluan karena mau jalan sama Abi yang tumben-tumbenan nggak ada rapat osis. Kalau Sarah, aku nggak melihatnya dari pagi tadi. Entah kemana cewek itu, biasanya muncul di hadapanku saat di jam istirahat kedua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Teen Fiction"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...