Mempunyai adik secemerlang Putih itu ada enaknya ada nggak enaknya. Enaknya itu, dia bisa dijadikan teman saat di rumah tidak ada siapa-siapa. Nyambung di ajak ngobrol dan bisa dijadikan tempat curhat tentang Bara.
Sedangkan nggak enaknya adalah, Putih yang lebih segala-galanya dari aku, membuat aku dan Putih selalu dibanding-bandingkan saat acara keluarga. Bukan orang tua kami yang membandingkan, tapi justru orang-orang yang nggak pernah ada sangkut pautnya sama hidup aku. Om dan Tante serta sepupu-sepupuku.
Pernah dengar kan ungkapan 'adik lebih cantik dari kakaknya?'
Nah si Putih pun begitu. Dia jauh lebih cantik dari aku.
Plus dia juga lebih pintar, cerdas, briliant, clever, jenius, dan sejenisnya.
Dan yang paling bikin gondok adalah dia yang labih tinggi dan bongsor dari aku. Duh sebel.
Setiap kali ketemu teman-teman Mama atau Papa, atau siapapun yang tau kami adik-kakak tapi baru bertemu kami, pasti selalu Putih yang di sangka Kakak dan aku Adiknya. Saking pendek dan kecilnya aku.
Untuk anak sebaya aku, tinggiku sebenarnya tidak bermasalah. Hanya Putih saja yang kelewatan tingginya.
Di usianya yang baru menginjak 15 tahun dan masih duduk di bangku kelas 9 SMP, tingginya sudah sampai 160an. Aku nggak tau tepatnya 160 berapa, yang jelas aku pernah ngintip formulir daftar ulang milik Putih saat dia mau masuk ke kelas 9 waktu itu, dan dua angka di depan itu 1 dengan 6.
Sedangkan aku cuman mentok sampai 157. Benar-benar mentok dari kelas 9 sampai sekarang kelas 11.
"Putih rencananya lulus SMP ini mau masuk mana?" suara Tante Ina terdengar sayup-sayup di telingaku, karena aku sedang memakai earphone. Sengaja biar nggak ada yang nanya-nanya padaku. Ya sekarang aku sedang berada di rumah Oma dari Mama.
Aku mematikan lagu yang sedang ku dengarkan, tapi nggak melepas earphone di telingaku.
Setiap akhir minggu sebulan sekali, keluarga dari Mama memang rutin mengadakan arisan keluarga. Di adakan selalu di rumah Oma, karena Oma yang meminta.
Tante Ina ini yang paling nyebelin dari tante-tante ku yang lain. Hobinya membandingkan aku, bukan hanya dengan Putih, tapi dengan siapapun yang dia kenal lebih unggul dari aku.
"Disuruh lanjut di tempat Kabir sih Tan, soalnya deket dari rumah dan bisa berangkat bareng sama Kabir," Putih menjawab sambil memakan kastangel.
"Duh sayang dong. Sekolah Biru kan swasta. Kamu kan pinter, nem kamu pasti nantinya gede. Mending lanjut di negeri aja kayak Ka Inara." Inara itu anaknya Tante Ina yang seumuran sama aku. Inara memang pintar dan berhasil masuk salah satu SMA negeri favorit di jakarta.
Nih ya, waktu awal-awal Inara masuk SMA negeri itu, Tante Ina nggak berhenti membanggakan anak kesayangannya itu. Dia ceritakan pada semua orang yang dia kenal kalau anaknya masuk sekolah favorit.
Oh jangan lupakan, dia juga selalu dengan senang hati membandingkan anaknya dengan aku.
Untung Mama Papa ku nggak pernah sekalipun membandingkan aku dan Putih. Mereka selalu bilang setiap anak itu memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tak peduli Putih lebih unggul segalanya dari aku, mereka tak pernah pilih kasih.
"Sekolahan Kabir juga bagus kok Tan," kata Putih, dia kelihatan jengah di ajak ngobrol sama Tante Ina.
"Ah sebagus-bagusnya swasta, tetep bagusan negeri." Tante Ina keukeuh kalau sekolahanku itu nggak ada bagus-bagusnya. "Kakak kamu itu kan masuk sekolahan yang sekarang karena nilainya nggak cukup buat masuk negeri, nah kamu ini kan dari dulu lebih unggul dari Biru, mending masuk sekolah yang lebih unggulan juga dari Biru."
Hidungku kembang kempis mendengar ucapan Tante Ina. Kalau saja dia bukan orang tua, dan bukan istri dari Om Indra, Kakak Mama, sudah aku siram dia dengan air jeruk di depanku.
Acara arisan keluarga hari ini sebenarnya sudah selesai. Tante Om ku yang lain sudah pada pulang, tersisa keluarga ku dan Tante Ina serta Om Indra yang memang rumahnya berada di komplek ini.
Mama pasti sedang membantu Oma cuci piring, sedangkan Papa pasti sedang bersama Om Indra. Seandainya boleh, aku ingin pulang duluan sekarang.
"Sekolah kan buat nuntut ilmu Tan, bukan buat unggul-unggulan dengan saudara." ucapan Putih barusan berhasil membungkam mulut Tante Ina. Bagus!
Kalau aku lebih memilih mendiamkan apapun ucapan Tante Ina, nah Putih ini lebih berani menjawab dan bikin Tante Ina diam karena kehabisan kata-kata.
Kalau sedang begini, aku mensyukuri otak Putih lebih berisi daripada aku.
"Ah kamu nih, Tante bilangin kok ngejawab terus. Kamu contoh dong kakak kamu, dia kalau di bilangin diam aja, manut sama orang tua." Tante Ina beranjak dari duduknya lalu berjalan ke dapur.
Aku tertawa didalam hati saat Tante Ina masih keliatan. Nggak tau deh bisa apa engga ketawa dalam hati, tapi ya aku harus bisa. Ternyata memang kata bandingan itu selalu tersemat di nama belakan Tante Ina.
Setelah Tante Ina nggak keliatan, baru deh aku ketawa keras di ikuti Putih.
"Mantul Put," Aku melepas earphone yang memang nggak bersuara dari tadi.
"Sebel banget gue dengernya. Hidup-hidup gue, mau gue sekola dimana gek ya terserah gue, ngapa jadi dia yang repot." Putih kembali mengambil kastangel dari toples dan mulai fokus pada acara di tv yang sejak tadi menyala tapi dia anggurin.
"Apalagi gue Put, pengen jambak rambut dia kalo seandainya dia nggak lebih tua dari gue." Aku menarik bantal sofa di belakangku dan menaruhnya di atas pangkuan.
"Untung anaknya kagak dateng Ka, coba kalo ada dua emak-anak nyebelin itu, nggak bakal sesabar ini gue. Udah gue jejelin sambel terasi yang di dapur Oma tuh mulutnya."
"Gue dukung 100% Put kalo lo berani."
Putih nyengir. Menampilkan gigi yang masih ada bekas kastangel. Aku melempar bantal di pangkuanku dan kena mukanya Putih. "Jorok lo!"
Dia melempar kembali bantal itu padaku, dan berhasil aku tangkap sebelum terkena wajah indah miliku.
"Lagi lo tuh kenapa diem aja si kalo Tante Ina udah ngomong nyebelin? Sautin aja, entar juga kicep dia. Kalo didiemin malah nambah demen dia."
"Kan yang dia omongin emang bener Put. Lo emang lebih pinter dari gue kan? Lo selalu masuk peringkat 3 besar kan? Sekolahannya Inara memang lebih unggulan dari sekolah gue kan? Nilai Inara juga lebih besar daripada nilai-nilai gue kan? Ya gimana gue mau ngelak. Orang yang dia omongin emang bener semua."
Dari kecil aku memang sedikit susah memahami pelajaran. Harus belajar dengan keras dulu, harus di terangkan berulang-ulang dulu, baru akan mengerti.
Sedangkan Putih dan Inara itu tipe orang yang baru diterangkan sekali oleh guru, mereka akan paham. Nggak perlu belajar mati-matian seperti aku, mereka akan dengan mudah mendapat nilai tertinggi di kelas.
"Nggak usah merendah gitu deh! Lo juga masuk 10 besar terus kan selama di SMA."
Ya Putih benar. Semenjak masuk SMA ini aku benar-benar serius kalau belajar. Masih teringat kata-kata Tante Ina saat pengumuman kelulusan dan hasil ujian waktu itu. Inara jelas mendapat nilai tertinggi kedua di sekolahnya, sedangkan aku benar-benar anjlok.
Tante Ina waktu itu dengan bangga menceritakan pada semua sanak saudara tentang prestasi Inara dan membandingkannya dengan nilai dibawah rata-rataku.
"Ini loh mbak, mas, si Inara ini dapet nilai tertinggi kedua di sekolahnya. Mau aku daftarin di sekolahan paling favorit di Jakarta. Kalau si Biru itu ya nilainya nggak akan cukup kalau di masukin di SMA negeri manapun. Paling ya mentok di Swasta." kata Tante Ina waktu itu pada Om dan Tanteku yang lain, terdengar saat aku hendak menaruh piring di meja makan rumah Oma. Untung Mama dan Papa waktu itu ada di dapur, nggak kebayang deh apa yang bakal di lakuin Mama ke Tante Ina kalau sampai Mama dengar ucapan Tante Ina.
"Iya 10 besar dan gue yang ke 10nya itu." Aku meminum jus jeruk yang ada di meja di depanku dan kembali menyumpal telinga dengan earphone.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Teen Fiction"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...