BAB 17

2.5K 211 13
                                    

"Lo pulang naek apa?" Tanya Rara, dia sudah bersiap hendak pulang. Tapi masih duduk di tempatnya. Katanya sih menunggu Abi. Jadi mereka katanya mau jalan dulu sebelum pulang. Aku mah manggut-manggut aja mendengar ocehan Rara sedari tadi.

"Ojol lah. Apalagi coba?" Kataku sedikit ketus. Duh ini tuh ketus yang salah sasaran. Aku masih kesal pada diriku sendiri karena lagi-lagi tadi mempermalukan diriku di depan Bara, tapi malah jadi Rara yang kena imbasnya.

"Kok galak sih?" Ujar Rara nggak kalah ketus. Ya si Rara mah emang gitu. Orang ketusin dia, dia balik ketusin lagi.

"Biasa PMS. Udah sono katanya mau jalan sama Abi? Gue mau piket nih!"

"Lah piket mah piket aja! Emang sapunya gue umpetin?" Rara bangkit dari duduknya, lalu pergi keluar. Sepertinya dia memutuskan menunggu Abi di depan kelas cowok itu. Ah biarin ah! Aku sedang kesal sekarang. Jadi lebih baik aku sendiri saja, biar nggak melampiaskan kekesalan pada orang yang nggak tau apa-apa.

Aku masih duduk di tempatku. Memperhatikan Anita yang sedang menyapu di dekat meja guru. Hari ini memang jadwal aku untuk piket. Tapi karena keterbatasan sapu, jadinya aku harus ganti-gantian pakai sapunya. Ya beginilah keadaan kelasku itu. Meskipun Rara, selaku bendahara, sudah beberapa kali membeli sapu, tapi entah kenapa, sapu di kelasku itu selalu raib. Padahal dengan posesifnya, Oja, si sekretaris kelas, sudah menamai sapu itu dengan nama kelas kami. 11 IPS 1. Tapi tetap saja, sapu-sapu itu kalau nggak di bawa pulang, ya akan tetap raib saru-persatu.

Jadi di kelas ini ada 4 barisan. Dimulai dengan barisan pertama itu yang dekat pintu. Nah itu nanti bagian aku yang menyapu. Barisan kedua sedang di sapu oleh Ira sambil menyanyikan lagu Akadnya Payung Teduh. Si Ira itu memang sepertinya hobi nyanyi, setiap saat kalau nggak ada guru di kelas, pasti dipakai dia untuk konser. Dan dengan percaya dirinya, suaranya itu kadang nggak pelan. Minimal, sekelas itu pasti mendengar. Maksimalnya, terdengar sampai perpustakaan yang ada di lantai 3, yang ruangannya kedap suara itu. Padahal nih ya, kalau boleh jujur, suaranya benar-benar sumbang.

Ya sebelas-duabelas lah dengan suaraku dan si Putih.

Kalau barisan ketiga, sudah di sapu sama Nabila, tapi nggak di sapu sampai depan kelas, hanya sampai meja paling depan, katanya dia buru-buru mau les, jadi nitip sampah bagiannya pada Anita, yang nyapu barisan ujung, agar di sapu saat Anita hendak membawa sampahnya ke depan kelas.

Jadi memang tinggal kami bertiga di kelas ini. Meskipun yang piket ada 7 orang, tapi yang 3 itu cowok. Nggak bisa di harapin deh. Ada aja alasannya.

Bila nanti saatnya telah tiba
Kuingin kau menjadi suamiku
Berjalan bersamamu dalam terik dan hujan
Berlarian kesana-kemari dan tertawa

Duh ini boleh nggak sih bicara terus terang sama Ira? Bilang kalau suaranya tuh fals banget gitu?

Udah suaranya fals, maen ganti-ganti lirik seenak udel lagi.

"Eh lagu ini tuh bikin ngayal banget nggak sih?" Ucap Ira entah pada siapa. Bisa padaku atau pada Anita

Melihat aku yang hanya duduk menghadap kedepan dan seperti enggan merespon apapun yang dikatakan Ira, Anita dengan berbaik hati, merespon ucapan Ira. "Enggak ah! Lo doang kali yang memang dasarnya tukang ngayal!" Oke Anita memang baik mau merespon Ira, tapi ya siapa sangka kalau responnya malah pedas gitu hahaha.

Aku menahan tawaku saat Ira mendumel karena ucapan Anita. "Jahat lo Ta. Tenang Ra, nggak cuman lo kok yang yang suka ngayal. Gue juga suka ngayal. Ya meskipun nggak seliar elo si ngayalnya hahaha."

"Sama aja lo berdua ah! Nyebelin!" Ira mencebikan bibirnya, membuat aku dan Anita tertawa. Ya lumayan juga lah ngeledekin Ira, bikin mood ku lebih baik sedikit.

Bara dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang