BAB 19

2.5K 184 2
                                    

Aku menarik selimut sampai menutupi seluruh badan saat Mama memasuki kamar. Bukan dengan niat untuk bunuh diri, tapi niat ingin menutupi mata ku yang bengkak karena sudah menangis selama 2 jam lalu tertidur setelahnya. Menjadikan wajahku benar-benar terlihat kacau. Aku malu. Pasti wajah ku sekarang terlihat abstrak. Aku yakin. Padahal aku belum lihat cermin.

Lagian apa kata Mama nanti? Masa hanya gara-gara Bara, aku nangis sampai berlebihan gini? Masalahku ini, buat orang seperti Mama yang hidup lebih dulu dariku, pasti nggak ada apa-apanya. Hanya permasalahan remaja yang patah hati berlebihan.

"Bir makan dulu yuk, kamu itu dari pulang sekolah belum makan apa-apa kan? Nanti kalau udah kena mag repot sendiri loh."

Aku menggeleng di dalam selimut. Mau ngomong, tapi kayaknya suara bakal serak.

"Ck galaunya tunda dulu setengah jam-an aja. Abis makan terserah deh mau galau lagi atau gimana. Mama nggak bisa ngelarang juga. Tapi inget, besok masih hari Jum'at, liat dulu ada tugas yang belum di kerjain buat besok nggak? Nanti keasyikan galau, kamu sampai lupa ngerjain pr lagi."

Ah sial! Benar kata Mama, besok masih hari Jum'at. Aku masih harus berangkat sekolah. Aaahh nggak bisakah hari Jum'at khusus besok di skip saja langsung hari Sabtu?

Aku menurunkan selimut sampai leher, mempertunjukan wajah abstrak ku pada Mama. Bagaimanapun, Mama ini ibu kandung ku kan? Dia tetap akan menerima aku apa adanya kan? Ya meskipun wajahku sekarang sedang abstrak-abstraknya.

"Ya ampun sampai bengkak gitu matanya. Kamu nangis berapa jam sih? Tadi kayaknya pulang sekolah kamu masih nyuci rok putih mu itu kan? Mama kira cuman galau kayak kemaren-kemaren, eh kayaknya yang ini lebih parah." Mama duduk di sisi ranjang. Melihatku dengan raut khawatir terpajang di wajahnya.

Aku menarik ingus saat akan meluncur keluar dari hidungku. Lalu duduk berhadapan dengan Mama. Sebenarnya aku malu ngomongin hal remeh gini sama Mama, tapi dari pada aku pendam sendiri kan? Sedihnya nggak bisa bagi-bagi.

"Aku di tolak Bara Ma," kataku sedih.

"What? Di tolak? Kamu nembak Bara Bir?" Mama sudah melebarkan matanya. Tekejut dengan pernyataanku. Duh Mama malu nggak ya punya anak seperti ku? Sudah nilai naik turun, kisah asmara juga memalukan!

Aku mengangguk lesu di hadapan Mama, lalu dengan lirih bergumam, " tiga kali."

"APA? Apanya yang tiga kali? Kamu nembak Bara tiga kali?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Mama masih memasang ekspresi terkejutnya. Lalu sepersekian detik kemudian, suara tawa keras Mama mengisi kesunyian kamar ku.

"Hahahahhaha!" Asli! Di depanku, Mama sedang tertawa ngakak sampai bungkuk-bungkuk. Sampai dia memegangi perutnya. Sampai air mata menetes di sudut matanya. Membuat aku mengeluarkan ekpresi melongo dengan mulut terbuka saking nggak percayanya.

Sekonyol itu diriku? Sampai-sampai Mama ku sendiri menertawakannya. Duh Mama! Dia nggak tau apa aku sedang patah hati ini! Butuh di hibur, bukan di tertawakan gini.

Melihat tampang ku yang seperti akan menangis lagi, Mama berusaha memberhentikan tawanya. "Ekhem! Oke-oke maaf. Jangan nangis lagi! Mama kelepasan tadi." Kata Mama di sela-sela tawa kecilnya yang masih tersisa.

"Nyebelin! Akutuh lagi galau Ma, bukannya di hibur, malah di ketawain!"

Mama tertawa kecil. "Ya lagian kamu berani banget. Dulu Mama meskipun suka duluan sama Papa kamu, Mama mana berani nembak langsung gitu. Ampe tiga kali lagi."

"Mama malu nggak punya anak kayak aku? Aku merendahkan harkat dan martabat perempuan nggak sih?"

"Hush ngomongnya! Ya enggak lah! Ngapain malu? Jatuh cinta itu wajar lagi. Inikan udah zaman emansipasi wanita. Jadi cewek-cewek udah nggak harus tuh nunggu cowok-cowok pada nyatain dulua. Mama salut malah sama kamu, bisa seberani itu. Kalau masalah harkat dan martabat perempuan, memangnya kamu ngapain? Nggak nyodorin diri buat di sosor Bara biar di terima kan?"

Bara dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang