Aku merebahkan diri ku di atas kasur besar di kamarku. Memeluk boneka beruang berukuran sedang, mata ku menatap lurus ke langit-langit kamar, ingatanku berlari ke kejadian tadi siang.
Aku tersenyum. Dadaku hangat. Rasanya seperti.... Apa ya? Entah lah! Aku tidak menemukan padanan kata yang pas untuk mewakilkan perasaan ku saat ini.
Ini pertama kalinya aku merasakan perasaan bahagia yang seperti ini.
Semuanya terasa pas. Aku dan Bara terasa pas. Seoalah kami diciptakan untuk melengkapi satu sama lain.
Ah sial! Kenapa aku begitu lebay?
Hah peduli amat dengan lebay. Cinta memang membuat orang yang merasakannya menjadi lebay kan?
Aku mengambil ponsel, berniat cerita pada Rara dan Sarah tentang tadi siang. Ah tidak jadi. Aku lebih suka menyimpan kisah menyenangkan ini sendiri untuk ku ingat sendiri. Toh mereka nggak akan percaya karena aku sudah sering menceritakan hayalan ku tentang Bara pada mereka. Paling-paling mereka hanya akan bilang padaku untuk jangan menghayal sampai lewat tengah malam.
Bara. Bara. Bara.
Aahhh! Kenapa wajah tertawa cowok itu enggan pergi dari pikiranku?
Lalu wajah tertawa itu berganti dengan wajah kesal dan bibir mengrucut karena memakai baju kebesaran milik Papa.
Duh gemas! Seandainya Bara tau, saat itu aku menahan diriku untuk nggak memeluk dia.
Dengan hanya memikirkan cowok itu saja, dadaku sudah kembali berdetak di luar batas normal. Bibirku nggak bisa berhenti melengkung. Gigi ku bahkan sudah terasa kering saking seringnya aku tersenyum lebar.
Aku membuka aplikasi musik di ponselku. Memilih lagu yang sekiranya cocok untuk menemaniku kembali memutar ulang kejadian tadi siang.
Ah bukankah lagu yang cocok itu yang aku dengarkan bersama Bara tadi siang?
Benar! Aku mencari lagu Sampai Jadi Debu di playlist ku dan memutarnya berulang-ulang sampai aku terlelap.
***
"Kenapa lo? Muka lo cerah bersinar bener kayak produk skincare!" Rara duduk di tempatnya di sebelah ku. Dia menatap heran padaku yang sudah cengar-cengir di depannya.
"Nggak papa. Lagi baik aja mood gue." kata ku, enggan memberi tahu alasan kenapa wajahku cerah bersinar seperti yang Rara bilang. "Gimana kencan kemaren sama Abi? Berantem lagi nggak?"
Rara menampilkan raut sebal. Wahh sepertinya ribut lagi. Atau jangan-jangan putus lagi? Haduuhh!
"Apaan! Kemaren kan ujan, nggak jadi kencan gue, cuman diem di rumah sama Abi." katanya kesal.
"Yang pentingkan sama Abi. Gue malah lebih suka kayak gitu. Diem dirumah. Di temani cowok yang gue suka. Minum teh anget terus sambil dengerin lagu romantis. Itu sempurna banget menurut gue." Aku bicara sambil menerawang ke kejadian kemarin.
Ah sial! Ujung-ujungnya pikiranku kembali ke kejadian kemarin. Bersama Bara.
Aku tersenyum lagi. Ah begini banget si rasanya jatuh cinta. Pengennya senyum mulu! Pegel kan bibir ku.
Rara memutar matanya jengah. Dia mungkin sudah bosan dengan keinginanku yang satu itu. Ah biarin lah! Dia nggak tau saja kalau keinginan itu baru saja di kabulakan Yang Maha Kuasa kemarin.
"Eh tapi nih Bir, kemaren Abang gue pulang kayaknya keujanan. Nggak tau neduh di rumah siapa, tapi dia pulang-pulang pake baju bapak-bapak sama celana kedodoran! Sumpah kocak banget! Ngakak gue liatnya." Rara tertawa di sebelahku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Fiksi Remaja"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...