Aku berjalan dengan riang menuju halte. Perasaanku menghangat saat dari jauh, aku melihat sudah ada Bara di sana. Masih dengan tas di punggung dan jaket yang melekat di tubuhnya.
Baru melihat dari jauh saja, jantungku langsung berulah lagi. Jantungku seperti melonjak kesenangan saat melihat pujaan hatinya ada di halte itu lagi. Sampai-sampai aku takut jantung ini akan loncat keluar dari dadaku, lalu berlari menuju Bara dan berlaku kecentilan di depan cowok itu.
Astaga! Kenapa aku setidak masuk akal itu?
Tapi sungguh, semakin aku dekat dengan halte itu, detak jantungku semakin berisik. Senyum di wajahku semakin lebar. Dan astaga! Rasa-rasanya aku jadi ingin nari dodogeran di tengah-tengah jalan raya saking senangnya!
Oke jangan dodogeran! Itu sulit. Tari saman saja aku belum tentu bisa, apalagi dodogeran. Aku kan bukan Anisa yang dari kecil sudah masuk sanggar tari.
"Hai," Sapaku ketika sudah berhadapan dengan Bara. Masih dengan senyum yang terpatri indah di wajahku.
"Hai juga," ujar Bara singkat dengan lebar senyum yang nyaris menyaingi lebarnya senyum ku.
Lalu akward.
Aku duduk, di ikuti Bara beberapa detik kemudian. Kami hanya memandang lurus ke depan. Ke arah jalan raya yang sedari tadi tak henti di lewati kendaraan beroda.
Oke! Kenapa kami hanya diam-diaman saja sekarang? Aku selama seminggu menunggu Bara disini, lalu baru kesampaian hari ini bertemu dengannya, bukan untuk diam-diaman menatap kendaraan yang berlalu lalang dan menghisap asap knalpot kendaraan tersebut.
Aku ingin bicara dengan Bara. Membicarakan apapun dengannya. Apapun. Yang penting kami bicara. Bukan diam-diaman kayak orang yang nggak kenal sama sekali.
Hei! Aku dengan sopir angkot yang tidak ku kenal saja bisa ngobrol dengan santai, lalu kenapa dengan Bara yang notabennya sudah aku kenal sejak kelas 10, hanya diam-diaman seperti ini?
Tapi sialnya, lidah yang biasanya lancar bicara dengan sopir angkot itu, sekarang malah kelu, nggak bisa di gerakan saat aku ingin bicara dengan Bara.
Di tambah wangi Bara yang seperi sengaja menari-nari di depan indra penciumanku, lalu dengan perlahan menyusup kedalam hidungku. Membuat fokusku terpecah saat sedang memikirkan topik obrolan yang hendak aku bangun dengan cowok itu.
Kenapa hanya dengan mencium wangi yang di sebabkan pewangi pakaian, bukan parfum merek apapun, karena aku hafal wangi ini, bisa membuat konsentrasi ku pecah begini? Ini hanya masalah simple. Sesimple aku menebak merek dari pewangi pakaian yang melekat nyaman di jaket Bara.
Tapi efeknya bisa sangat berbahaya kalau saja aku sedang duduk di balik kemudi. Benar kan? Pecahnya konsentrasi saat sedang menyetir itu bahaya kan? Jelas lah! Beberapa kecelakaan di jalan itu di sebabkan karena pengendaranya tidak konsentrasi saat menyetir.
"Kok tumben diam aja? Kenapa? Haus?" tanya Bara, wajahnya sekarang menghadap kepadaku.
"Hah? Oh engga kok. Bingung aja mau ngomong apa." kataku jujur. Bara tersenyum simpul, sepertinya dia sadar kalau aku sedang sangat gugup ada di sampingnya sekarang.
Canggung sekali. Padahal baru seminggu kami nggak ngobrol, tapi kenapa keadaan kembali seperti pertama kali aku dan Bara bertemu di halte ini?
Di depan kami, berhenti angkot berwarna biru yang belum ada penumpang sama sekali, sopirnya berteriak padaku dan Bara, menawarkan jasanya mengantar penumpang. Aku menggeleng menjawab sopir itu, tapi meskipun aku sudah menggeleng, angkot itu masih belum beranjak sesenti pun. Radio berwarna hitam berbentuk persegi panjang, yang sepertinya sengaja di bawa sopir angkot itu untuk menemaninya menarik angkot, memutarkan lagu yang familier di telinga ku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Teen Fiction"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...