A/N
Jadi part 28 sama part 29 itu semua adegannya terjadi sebelum part 27 ya :)***
Bara sadar permasalahannya dengan Biru ini terasa belum tuntas. Rasanya masih ada yang mengganjal di hati Bara. Mungkin karena saking besarnya rasa bersalah itu, sehingga membuat Bara selalu terpikirkan tentang Biru. Rasa bersalah itu memang benar-benar menyiksa Bara. Menggerogoti organ vital dalam tubuhnya. Seperti penyakit. Nggak akan hilang jika hanya di biarkan tanpa di obati. Untuk itulah kenapa dia selalu muncul di dekat Biru. Untuk itulah dia selalu memposisikan dirinya di tempat yang sekiranya bisa dilihat Biru.Bara ingin meminta maaf dengan sungguh-sungguh pada Biru. Bukan seperti permintaan maafnya yang di kantin. Karena respon anggukan Biru saat di kantin, entah kenapa Bara merasa itu hanya formalitas saja. Bara merasa Biru benar-benar belum memaafkannya meskipun jika tak sengaja Biru terjebak berada dekat dengan Bara, sikap cewek itu biasa saja seperti sikapnya sebelum mereka terjebak hujan di halte waktu itu.
Tapi sialnya, lidah Bara selalu kelu saat sudah berada di dekat Biru. Nyalinya langsung hilang saat menatap wajah datar Biru yang disuguhkan pada Bara. Selalu ada rasa tak nyaman melihat wajah yang biasanya berbinar itu kini berubah datar saat melihatnya.
Bara tau Biru saat ini sedang berusaha melupakan rasa yang dia punya untuk Bara. Ya itu memang sudah seharusnya Biru lakukan, agar sakit hatinya nggak semakin membesar. Agar rasa bersalah Bara juga nggak semakin besar. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang tak suka mengetahui hal itu. Entah kenapa sedikit dari sudut hatinya menginginkan agar Biru tak harus melupakan rasanya untuk Bara.
Terdengar egois memang. Karena itu pasti akan semakin membuat Biru sakit nantinya. Tapi bukankah manusia memang memiliki sisi egoisnya masing-masing? Dan inilah salah satu sisi egois Bara. Dia ingin Biru tetap menyukainya. Dia ingin Biru tetap memiliki rasa untuknya.
Ah sial! Rasa bersalah itu memang benar-benar menyiksa sekaligus merusak kinerja otaknya. Bagaimana bisa Bara berpikiran seperti itu? Disaat ada Sarah di depannya lagi. Bukan berarti kalau tidak ada Sarah, Bara boleh memikirkan hal itu. Nggak! Itu tetap nggak boleh! Bagaimanapun Biru memang harus move on darinya.
"Kamu kenapa sih? Kok kayak lebih diem akhir-akhir ini?" Tanya Sarah sambil menyentuh punggung tangan Bara yang ada di atas meja.
Bara yang memang sedari tadi bengong, terkejut saat tiba-tiba Sarah memegang tangannya. "Hah? Kenapa?"
"Kamu kenapa? Kok akhir-akhir ini sering diem gitu?" Sarah mengulang pertanyaannya.
"Emang iya? Kok aku nggak sadar?" Bukannya menjawab, Bara malah bertanya balik. Membuat Sarah memutar bola matanya.
"Ditanya kok malah nanya balik sih! Nyebelin!" Ucap Sarah dengan nada kesal.
Bara tertawa kecil mendengarnya. "Aku nggak papa. Cuma kepikiran aja lulus nanti mau lanjut kemana. Papa udah nanya soalnya."
Sarah mengangguk, lalu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Kamu maunya kemana?"
"Belum tau. Mau ambil jurusan apa aja aku masih bingung." Kata Bara sambil melipat tangannya di atas meja. Saat ini mereka sedang ada di kedai bakso dan sedang menunggu pesanan keduanya dibuatkan.
"Kok bingung sih? Tinggal ikutin apa minat dan bakat kamu. Toh orang tua kamu nggak maksa kamu harus masuk jurusan tertentu kan? Nggak kayak aku yang diharuskan masuk kedokteran UI atau UGM."
"Ya memang engga sih. Tapi kalau aku malah mending di suruh masuk jurusan tertentu sama orang tua. Daripada milih sendiri, malah bingung."
"Kamu itu udah termasuk kedalam golongan orang-orang dewasa Bar. Harus bisa nentuin pilihan dalam hidup. Nanti giliran dipilihin ortu, terus ternyata kamu malah merasa nggak cocok sama jurusan itu, kamu juga yang nyesel. Mau pindah jurusan malah nantinya buang-buang waktu sama uang. Nggak pindah jurusan, kamunya yang nggak nyaman."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Teen Fiction"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...