Epilog

4.6K 220 109
                                    

Bara Pratama : Hi Biru, apa kabar? Bisa ketemu sebentar? Ada yang mau saya omongin.

Biru mengerutkan dahi saat membaca pesan yang baru masuk ke ponselnya. Ini pesan pertama Bara sejak empat bulan yang lalu terakhir kali mereka bertemu.

Apa ya yang mau Bara bicarakan? Haruskah Biru menemui Bara? Tapi Biru takut, kalau dia menemui Bara, luka yang sedang Biru usahakan untuk sembuh, malah kembali sakit karena Bara?

Tapi kalau nggak ketemu, Biru penasaran apa yang mau Bara ucapkan!

Kirania Biru A : Bicara apa?

Bara Pratama : Hanya ngobrol sebentar aja. Sebelum saya pergi.

Ah iya, inikan bulan Agustus. Bara memang seharusnya pergi dibulan ini. Apakah ini sejenis perpisahankah?

Biru mungkin harus mengiyakan keinginan Bara yang satu ini. Dilihat dari cara Bara ingin bertemu sebelum pergi, menandakan kalau cowok itu, ingin pergi dengan baik-baik. Biru paham. Memang seharusnya begini kan?

Biru pun selama ini sudah belajar mengikhlaskan, jadi rasanya nggak seberat beberapa bulan lalu.

Akhirnya Biru pun menyetujui keinginan Bara. Dan mereka bertemu di Ruang Rindu, kafe milik saudaranya Bara.

Biru duduk di hadapan Bara. Cukup lama mereka saling diam, sebelum Bara menatap lurus ke manik Biru dan berucap, "Biru.... saya ingin minta maaf sama kamu karena sudah marah-marah dipertemuan terakhir kita waktu itu. Padahal itu jelas-jelas salah saya yang nggak pernah komunikasiin semuanya sama kamu. Salah saya karena nggak ngomong apa maunya saya. Saya cuma mikir dari sudut pandang saya, saya kira kamu akan mengerti sendiri apa mau saya setelah melihat tindakan saya langsung. Tapi saya salah Biru. Ternyata perempuan juga harus diyakinkan bukan hanya dengan tindakan, tapi juga kata-kata. Saya telat memahami itu, dan ketika saya mengerti, saya tau, saya terlambat.

Besok saya pergi. Saya nggak tau, saya akan lulus studienkolleg atau engga, kalau saya lulus, mungkin saya akan menetap di Jerman lebih dari empat tahun. Kalau pun nggak, saya akan ke melbourne, mulai daftar dari awal lagi di sana.

Saya nggak akan ada di Indonesia untuk waktu yang lama. Maka dari itu, saya disini benar-benar mau minta maaf. Maaf karena berkali-kali saya udah nyakitin kamu. Maaf karena sudah membuat kamu nangis. Saya tau, saya mungkin laki-laki yang paling brengsek dihidup kamu saat ini. Saya benar-benar merasa bersalah Biru. Saya nggak tenang selama nggak bertemu kamu kemarin. Saya selalu terpikirkan kamu."

Bara nggak ingin pergi dengan rasa bersalah yang terus-terusan menghantuinya. Bara ingin, kehidupan barunya kelak, dimulai dengan perasaan tenang. Maka dari itu, dia harus menyelesaikan dengan jelas permasalahannya dengan Biru.

Biru mendengarkan Bara dengan saksama. Biru nggak tau harus merespon bagaimana. Rasanya, semua kalimat yang dulu selalu ingin Biru sampaikan pada Bara menguap dan hilang entah kemana. Bara meminta maaf pada Biru. Padahal menurut Biru, hal itu nggak perlu Bara sampaikan.

Patah hatinya Biru, bukan salah Bara. Itu memang risiko yang harus Biru terima kan?

Dan dari cara Bara meminta maaf dengan tulus, Biru tau, Bara adalah cowok baik yang sebenarnya nggak ingin menyakiti hati perempuan. Bara hanya, nggak memahami apa yang Biru mau. Dan Biru pun juga nggak mengerti akan sikapnya Bara.

Mereka hanya dua anak remaja yang sama-sama jatuh cinta tapi tidak paham tentang menjalin hubungan.

"Bukan salah kamu Bar, saya juga ikut salah dalam hal ini. Saya yang terlalu berekspetasi tinggi sama kamu, jadinya waktu ekspetasi itu nggak tercapai, saya kecewa, hati saya hancur. Dan sekali lagi, itu bukan salah kamu, saya yang nggak bisa mengontrol diri saya. Saya juga minta maaf kalau perasaan saya selama ini ngebebanin kamu."

Bara dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang