BAB 10

3K 244 10
                                    

Seperti bintang di malam hari yang hadirnya tak terduga. Jika ingin, mereka akan bertaburan di langit. Jika enggan, mereka tak nampak satupun.

Begitu Bara di hidupku. Dua minggu yang lalu, dia berada di sekelilingku. Duduk di halte menunggu ku yang akan di jemput Mama. Membicarakan lagu-lagu yang kami sukai. Berdua. Tanpa memedulikan sopir angkot yang berteriak, meneriakan tujuan angkotnya pergi untuk menarik penumpang. Tanpa memedulikan orang-orang yang berseliweran di sekitar kami.

Kami seolah mempunyai dunia sendiri.

Bara seperti memberi respon baik padaku. Dia seperti memberi lampu hijau untuk aku mendekat.

Tapi tiba-tiba, minggu ini Bara kembali menjauh. Setelah percakapan kami tentang kenapa aku suka Bara waktu itu. Setiap papasan di sekolah, Bara hanya berlalu, melewatiku tanpa senyuman apalagi kata-kata, padahal sejak kejadian dia mengantar aku pulang hujan-hujan waktu itu, kalau papasan, minimal kami akan saling melempar senyum formal.

Setiap hari, sebelum pulang, aku berdiri di halte, menunggu Mama yang menjemput atau menunggu ojek online datang. Tapi yang sebenarnya adalah, aku menunggu Bara datang. Menepikan motornya di depanku, lalu kami akan larut dalam dunia yang kami ciptakan sendiri.

Tapi Bara nggak pernah datang lagi.

Aku menarik napas panjang. Rasanya sesak. Sepi. Tidak ada Bara itu sepi. Sepi yang menyiksa.

Kalau begini caranya, aku jadi menyesal sudah jujur tentang perasaanku. Harunya aku bilang saja kalau aku sudah nggak ada perasaan sama dia.

Mungkin kami bisa berteman?

Lalu di masa depan jadi teman hidup?

Ah tau ah pusing!

Aku menatap langit-langit kamar yang lampunya sudah ku matikan. Hanya menyisakan cahaya remang-remang dari lampu tidur yang di letakan Mama di atas nakas. Mataku tidak mau terpejam padahal malam kian larut, pikiranku melalangbuana, memikirkan kenapa Bara menjadi tak terjangkau lagi?

Bukankah aku sudah hampir menjangkau Bara?

Ah benarkah? Atau itu hanya imajinasi saja? Imajinasi yang aku ciptakan karena terlalu larut dalam bahagia?

Berusaha mengenyahkan Bara dari pikiranku, aku mengambil ponsel di atas nakas di sebelah tempat tidurku. Tapi bergeming saat ponsel itu sudah berada di tangan.

Aku nggak mungkin mengirim chat pada Rara, cewek itu bilang akan tidur sejak satu jam yang lalu. Yang artinya, sekarang dia sedang berkelana di alam mimpi.

Sedangkan Sarah, lebih nggak mungkin lagi. Dia itu hidupnya teratur. Paling lambat, jam 10 harus sudah mematikan lampu kamar dan bergelung di bawah selimut. Dan bangun pukul setengah lima pagi besoknya. Rutin setiap hari.

Tidak seperti aku dan Rara yang akan tidur jika sudah mengantuk. Dan akan bangun jika suara Mama sudah berkoar seantero rumah ini.

Karena nggak tau harus ngapain, akhirnya aku memilih memutar lagu.

Sheila On 7 itu kalau mengeluarkan lagu nggak pernah membuat para pendengarnya kecewa. Semua lagu-lagunya benar-benar top deh. Meskipun beberapa lagu mereka tercipta sebelum aku lahir, tapi lagu itu tetap enak di dengarkan setelah aku sebesar ini.

Awalnya saat pertama kali mendengar lagu yang berjudul Dan, aku kira itu lagu baru dan Shiela On 7 itu juga band baru. Ternyata setelah aku browsing-browsing, lagu itu di rilis tahun 1999. Mulai saat itu, aku langsung menobatkan Sheila On 7 sebagai band Indonesia favoritku.

Bara dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang