BAB 36

2.7K 180 20
                                    

Namanya Ruang Rindu.

Kafe yang selalu Biru lewati setiap pergi dan pulang sekolah itu namanya Ruang Rindu. Katanya, itu tempat untuk orang-orang yang merindu. Tempatnya strategis, berada di pinggir jalan besar.

Dengan papan nama yang menempel di atas pintu yang bisa dikatakan tidak kecil, membuat pengguna jalan, tidak perlu berhenti untuk bisa membaca nama kafe itu.

Biru pernah sekali masuk ke dalam kafe itu, karena menurutnya, namanya lucu.

Ruang Rindu.

Awalnya, Biru kira, desain dalam kafenya berupa tempat-tempat klasik. Atau desain lama yang membuat para pengunjungnya merasa dilempar ke masa lalu.

Karena namanya Ruang Rindu.

Ruang untuk yang sedang merindu.

Merindukan masa yang pernah terjadi.

Atau mungkin bukan hanya masa,

Tapi juga seseorang.

Biru ingat, saat pertama kali masuk ke dalam kafe itu, dia sempat mengerutkan keningnya.

Sedikit heran.

Karena ternyata, isi dari kafe itu bukan seperti apa yang Biru duga awalnya.

Karena ternyata, desain kafenya cukup masa kini. Nggak ada piringan hitam yang diletakan di pojok ruangan oleh pemilik kafenya.

Nggak ada foto-foto jadul di dinding kafenya.

Nggak ada lagu-lagu lama yang terdengar disepenjuru kafe.

Semua yang ada di dalam kafe, terlalu masa kini.

Saat itu, Biru hanya mampir sebentar, lalu pergi lagi. Karena menurut Biru, nama dan isi dari kafe itu tidak sinkron.

Dan sampai sebelum hari ini, Biru nggak pernah lagi kembali ke kafe itu.

Iya hari ini, Bara mengajaknya ke Ruang Rindu. Bukan! Bukan untuk kencan. Bara hanya mengajak mampir sebentar sepulang dari sekolah. Katanya, Bara harus menemui kakak sepupunya, yang mana baru Biru ketahui adalah pemilik kafe itu.

Semenjak Biru kecopetan waktu itu, Bara memang jadi sering memaksa Biru untuk pulang dengannya.

Biru sih mau aja. Lumayan kan, tebengan gratis hehehe.

Udah gitu, selain gratis, Biru jadi berasa.... Ehm....

Jadi berasa.....pacaran sama Bara hehehehehe.

Tapi nih ya, Biru kan jadi merasa nggak enak sama Rara. Bukannya pulang bareng Rara yang serumah dengan dia, Bara malah pulang bareng dengan Biru terus.

Ya meskipun si Rara itu nggak akan mau juga si pulang bareng Bara kalau Bara bawa motor. Katanya panas, nanti kulit mulusnya dia kena paparan sinar matahari dan debu jalanan.

Jadinya kusam dan jerawatan deh. Terus kalau udah kusam dan jerawatan gitu, nanti Abi berpaling ke dedek gemes yang sudah ngincar Abi dari lama. Padahal mah, belum tentu. Rara nggak bisa liat apa kalau Abi udah sebucin itu sama dia. Masih aja cemburu sama adek kelas. Hadeeeh.

"Menurut kamu aneh nggak si Bar? Namanya Ruang Rindu, terus katanya untuk orang-orang yang lagi merindu, tapi isi kafenya terlalu masa kini. Harusnya kan desain kafenya lebih ke klasik atau ala-ala jaman dulu. Biar orang-orang yang dateng makin lebih menghayati. Biar ingatan mereka terlempar ke masa lalu gitu." Biru berkata saat kakinya menapaki lahan parkir di depan Ruang Rindu.

Bara tersenyum sambil berjalan menuju pintu masuk Ruang Rindu. Diikuti Biru dengan kening yang masih berkerut.

"Bar ih! Kok diem aja sih?"

Bara berbalik, berhadapan dengan Biru. Bibirnya masih melengkung indah, seolah memaklumi keingintahuan Biru. Karena dulu, saat kafe ini pertama kali di resmikan oleh Rey, Kakak sepupunya, Bara pun memiliki pertanyaan yang sama.

"Kata Bang Rey, sengaja desain dalam kafenya dibuat masa kini. Biar orang-orang yang terjebak di masa lalu, orang-orang yang masih di perbudak rindu pada kenangan, mereka sadar, kalau mereka nggak lagi hidup di masa lalu, kalau hidup terus berjalan. Kalau waktu nggak berhenti hanya untuk menunggu mereka lepas dari itu semua."

Biru semakin mengerutkan keningnya. Nggak mengerti dengan maksud ucapan Bara.

Melihat tampang Biru yang benar-benar bingung, Bara terkekeh pelan.

"Udah, lupain. Anak seumur kita itu, belum paham sama permasalahan orang dewasa kayak mereka. Sekarang, daripada kepala kamu penuh hanya untuk mikirin kenapa kafe ini, kenapa kafe itu," Bara menyentuh pelipis Biru dengan jari telunjuknya, sebelum melanjutkan dengan cengiran lebarnya, "mending kamu....... mikirin saya."

"Yeeuuuu modusss!" Semprot Biru dengan cengiran yang sama lebarnya dengan Bara.

Bara tertawa kencang di depan Biru. Lalu menarik tangan Biru untuk memasuki Ruang Rindu.

Duh ini Bara kenapa jadi pinter modus gini sih?

Bara nggak tau apah kalau Biru tuh suka tiba-tiba pengen meluk Bara kalau Bara udah gemesin gitu.

"Kok tumben di gandeng?" Sengaja, Biru memancing.

Bara menatap tangannya yang menarik tangan Biru, lalu menatap wajah Biru dan tersenyum.

"Biar nggak ilang. Kamukan jalannya lama."

Heleh! Yakali deh Biru ilang? Sudah 2 tahun lebih kali Biru lewat sini setiap harinya. Nggak mungkin juga ilang.

Dasar Bara. Modus mah modus aja!

"Kamu nggak lagi modus kan?" Biru menaik-turunkan alisnya. Membuat Bara tertawa.

"Hahhaha bukannya kamu yang selalu modusin saya?"

"Dih kapan? Enak aja! Nggak usah fitnah ya!" Biru menarik tangannya dari genggaman Bara dan refleks memukul pelan lengan Bara.

Bara mengaduh dan tertawa. "Aduuh duh duh! Sakit Biru! Iya iya engga! Udah ayok masuk. Pukulan kamu sakit tau."

Lebay! Sakit darimana coba? Emangnya Biru tega apa mukul Bara kenceng-kenceng? Kan engga!

"Lagian! Ngeselin banget. Saya nggak pernah ya modusin kamu!" Kata Biru dengan bibir cemberut.

Bara tersenyum lagi. "Iyaiya engga! Udah ayok masuk, saya udah di tungguin." Bara berjalan masuk ke dalam kafe lebih dulu, masih dengan cengiran lebarnya.

Biru yang ada dibelakangnya hanya menatap punggung Bara dengan tampang merana.

"Kok nggak di gandeng lagi sih?" Katanya lirih pada diri sendiri.

***

Bara dan BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang