Haduh maaf ya teman-teman. Ternyata selama ini saya salah publish bab 37. Harusnya bab 37 yang ini, dan bab depan itu bab 38. Tapi malah publish bab depan sebagai bab 37. Dan parahnya baru ngeh sekarang hehe. Maaf ya teman-teman sekali lagi.
***
Biru duduk disalah satu kursi yang ada di dalam Ruang Rindu sambil menikmati lemon tea yang baru saja dibawakan pelayan kafe setelah mendengar instruksi Bara. Sedangkan Bara sendiri, berada di ruangan khusus di dalam kafe yang sepertinya ruangan pribadi kakak sepupunya selaku pemilik kafe.
Bukannya Bara sengaja meninggalkan Biru dan nggak mengajak Biru memasuki ruangan khusus itu loh ya. Bukan gitu. Bara tadi sempat menawarinya kok.
Hanya saja, Biru merasa agak kurang enak saja kalau dia ujug-ujug ngintilin Bara ke sana. Kayak nggak sopan gitu nggak sih? Urusan Bara kali ini pasti penting banget. Karena alih-alih membicarakannya di rumah nanti, mereka malah membicarakannya disini.
Eh ya Biru nggak tau juga si penting apa engga. Dia kan hanya mengira-ngira.
Lagian Biru lebih suka berada di sini. Disalah satu meja di kafe ini. Sambil tangannya sibuk mengarahkan sedotan ke dalam mulutnya, matanya sedari tadi sibuk terarah ke arah meja yang dekat dengan jendela.
Meja itu tidak kosong. Ada penghuninya. Dan yang pasti, penghuninya manusia asli. Bukan makhluk ghaib dan sejenisnya ya.
Di meja itu ada seorang wanita dewasa yang sedang menatap jalanan dari balik kaca kafe ini. Pakaiannya seperti wanita kantoran yang mungkin sedang bolos kerja di jam-jam keritis menuju jam pulang.
Selama Biru memperhatikan wanita dewasa itu, belum pernah Biru melihat wanita itu bergerak sedikitpun. Kepalanya seolah sudah di program untuk hanya melihat lalu lalang kendaraan di luar sana.
Apa dia nggak pegal ya? Pasti pulang-pulang lehernya minta di urut tuh.
Entah kenapa, sedari tadi, Biru nggak bisa mengalihkan pandangannya dari wanita itu. Raut muka wanita itu membuat Biru tanpa sadar mengerutkan keningnya. Menebak apa yang sedang di pikirkan wanita asing yang nggak pernah Biru kenal.
Ada yang salah dengan raut muka itu. Seperti raut sedih? Marah? Atau apa? Biru juga nggak tau. Dia bukan pengamat ekspresi kan?
Tapi-tapi-tapi, yang jelas, raut itu sungguh mengganggu Biru. Rasanya.....apa ya? Nggak tega saja gitu Biru melihatnya.
Padahalkan mereka sama sekali nggak kenal ya? Kok bisa sih Biru kayak sedih gitu liat raut sedih si mbak di dekat jendela itu?
Ah mungkin hanya perasaan empati sesama perempuan?
Entahlah. Fokus Biru pada mbak-mbak yang terlihat merana itu terhenti saat Bara sudah duduk di depannya dengan raut yang.....mmm apa ya?
Kesal? Marah? Emosi?
Eh itu bukannya sama saja ya?
Tau ah pusing! Ini kenapa hari ini rasanya Biru benar-benar kayak pengamat ekspresi sih? Tadi mbak-mbak merana dekat jendela, sekarang Bara!
"Kenapa Bar?" Tanya Biru saat merasa Bara nggak akan buka mulut kalau nggak ditanya duluan.
Bara menggeleng. "Nggak papa. Udah selesai minumnya? Mau langsung pulang?"
Yaaahh kok pulaang siih? Biru kira Bara mau ngajak ngedate sepulang dari sini! Udah gitu, lemon tea yang seger banget inikan juga belom abis!
Aahh Baraaa!
Pengen banget Biru merengek manja gitu. Tapi takutnya nanti Bara ilfeel lagi. Belom juga ditembak, masa udah ilfeel duluan!
Bahaya-bahaya! Nggak boleh dibiarkan! Biru harus bisa jaga imej di depan Bara sampai dia jadi pacarnya kelak!
Duh emang bakal di tembak Bir? Kok udah yakin banget sih?
Eh tapi nggak papa Bir! Yakin aja dulu! Masalah ditembak atau engga, urusan belakangan hehehehe.
Melihat tampang cowok ganteng di depannya ini yang sepertinya sedang dalam mood tidak baik, akhirnya Biru menjawab pertanyaan itu dengan anggukan dan berdiri saat Bara berjalan ke kasir untuk membayar minuman Biru.
Boleh dibungkus diplastik nggak sih minumannya? Lumayan tau buat di jalan. Mumpung di jalan lagi panas nih. Masih ada setengah gelas lagi kok itu.
Duh Biru! Kok bisa sih kepalanya sampe ke situ segala? Untung Bara nggak punya kekuatan membaca isi kepala Biru. Coba kalau punya? Beeuuhhh udah jauh-jauh pasti dia dari Biru.
Ketika Biru sampai di parkiran Ruang Rindu, Biru menyempatkan diri menatap mbak-mbak yang di dekat jendela dari luar. Kalau di dalam tadi dia hanya bisa melihat wajah sampingnya, kalau saat ini, dia bisa melihat full wajah dari mbaknya. Karena memang, wajah itu mengarah ke luar kafe.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, setelah beberapa kali mendengar dan membaca kalimatnya, Biru tau kalau wujud dari 'tatapan kosong' itu seperti yang dia lihat saat ini.
Sampai pundaknya di tepuk pelan oleh Bara dan dia naik ke boncengan cowok itu, Biru baru mengalihkan pandangannya dari wanita di dekat jendela itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Fiksi Remaja"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...