Aku duduk di ruang makan rumahku. Menatap ngeri gadis di seberang meja makan yang saat ini sedang menyantap mie rebus instan dengan potongan cabai rawit yang super pedas dengan tambahan saus, buatanku dengan lahap.
Aku meringis sambil memegang perut saat melihat Rara-sahabatku, menyeruput kuah yang berwarna merah itu tanpa menggunakan sendok tapi langsung dari mangkuknya alias di uyup.
Setelahnya dia langsung meminum air putih yang ku taruh di hadapannya—yang ku kira dia tidak melihatnya karena tidak menyentuh gelasnya sama sekali saat makan tadi.
Aku yang sejak lahir tidak suka dan tidak bisa makan makanan pedas, pasti sudah memegang erat gelas penuh berisi air putih saat disodorkan makanan seperti yang dimakan Rara. Tapi Rara baru melirik gelas itu saat makanan dalam mangkuk putih itu habis tak tersisa. Benar-benar habis, bersih, tidak ada sepotong cabaipun yang tersisa di mangkuk itu.
"Huh.. Gillss, gue kenyang banget Bir, ternyata mi instan buatan lu enak jug—HHEE," Rara bersendawa sambil duduk menyender, tangannya mengelus perutnya dengan gerakan memutar.
Sungguh! Kalo mama dulu tidak memberitahuku kalau kita harus bersikap sopan dan ramah pada tamu, maka sudah pasti barang tentu aku sudah mengusir tamu—yang tidak diundang ini— sedari tadi.
Sayangnya sejak kecil, mama selalu menanamkan pemahaman kalau tamu itu harus diperlakukan bak seorang raja kerajaan seberang yang sedang berkunjung ke istana ku. Akhirnya, beginilah jadinya. Rara dengan semena-mena datang kerumah ku di malam minggu ini—malam yang harusnya ku gunakan untuk menyelesaikan novel yang baru aku beli senin kemarin—dengan muka kusut lalu memaksaku untuk membuatkannya mi instan yang super pedas dan menemaninya makan disini.
Oh iya, karena terlalu ngeri melihat makanan yang Rara makan, aku jadi lupa kalau seharusnya aku menanyakan kenapa dia malam-malam begini datang kerumahku dengan wajah kusut.
"Ra, lo belom cerita loh kenapa lo kerumah gue malem-malem gini," aku memperhatikan perubahan raut wajah Rara yang semula senang karena kenyang, menjadi muram.
Rara itu anaknya periang, jarang banget nampakin muka muram, kusut dan madesu gini. Ini kalau nggak gara-gara uang jajannya abis dan Ayahnya nggak ngasih atau—
"Gue putus sama Abi," katanya loyo.
Nah kan! Baru mau aku bilang kalau kemungkinan kedua itu ya dia putus sama pacarnya.
Sudah nggak aneh sebenarnya mendengar kabar Rara putus dengan Abi. Hubungan kedua sejoli itu memang sering putus-nyambung seperti ini.
Lihat saja, paling dalam satu atau dua minggu lagi, Rara pasti akan datang kepadaku dan bilang kalau mereka balikan.
Heh, aku saja sampai hapal siklus putus-nyambung Rara dan Abi.
"Siapa yang mutusin kali ini?" tanyaku penasaran alasan mereka putus untuk yang kesekian kalinya ini.
Rara duduk tegak sekarang, menampilkan raut muka kesal yang sangat kentara.
"Gue lah!" katanya sewot.
"Karena?"
"Ck. Abi ngebales line ade kelas yang sengaja modus sama dia."
Karena aku sudah hapal tabiat Rara, jadi aku percaya kalau Abi membalas chat line dari adik kelas kami, tapi aku yakin kalau Abi membalasnya pasti hanya karena formalitas alias merasa tidak enak kalau tidak dia respon.
"Yaelah Ra, masalah sepele gitu sampe putus? Lo pasti ngedrama deh di depan Abi ya?" tudingku yang aku rasa 99% benar.
"Apasih? Enggak!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Roman pour Adolescents"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...