Tidak ada pertemuan dan pembicaraan lagi setelah pertemuan terakhir Bara dan Biru di kafe beberapa minggu lalu.
Bahkan sampai Bara selesai mengikuti ujian nasionalnya dua minggu lalu, Biru belum melihat lagi wujud dari cowok itu.
Yang Biru dengar dari Rara, Bara sedang mempersiapkan segala berkas-berkas untuk kepergiannya ke Jerman Agustus nanti. Bara juga sedang belajar mati-matian untuk tes masuk studienkolleg di Jerman.
Kata Rara, sebelum Bara memulai kuliah di Jerman, Bara harus mendaftarkan dirinya ke kelas persiapan atau studienkolleg. Atau kelas penyetaraan bagi mahasiswa luar yang belum mencapai 13 tahun sekolah.
Jadi di Jerman itu, siswanya harus sudah sekolah selama 13 tahun dulu sebelum masuk universitas. Dan karena di Indonesia, pendidikan wajib hanya 12 tahun, jadinya mahasiswa yang hendak kuliah di Jerman, harus mendaftar studienkolleg selama dua semester terlebih dahulu.
Dan kalau sampai nggak lulus studienkolleg, maka Bara nggak bisa kuliah di Jerman. Makanya setelah melaksanakan ujian nasional, Bara sangat sibuk mempersiapkan dirinya untuk mengikuti tes masuk studienkolleg tersebut.
Sehingga Biru benar-benar nggak punya kesempatan untuk hanya sekedar membicaranakan hubungannya yang nggak penting ini.
Sudahlah! Ini bukan saat yang tepat untuk mengungkit perkara ribetnya hubungan antara Bara dan Biru.
Ada masa depan yang harus mereka perjuangkan. Biarlah Bara fokus dengan kuliah dan cita-citanya. Begitupun Biru, fokus mengembangkan dirinya dan membahagiakan orang tuanya.
Tidak ada yang lebih bahagia kan dari melihat wajah semringah orang tua karena keberhasilan anak-anaknya?
Toh saat ini kan memang seharusnya fokus mereka tertuju pada pendidikan dan masa depan kan?
Perkara masalah hati, bukan saatnya untuk dibesar-besarkan.
Apalagi sampai terpuruk karena patah hati dengan dia yang belum tentu jadi jodoh kan?
Biru percaya, kalau memang dia dan Bara berjodoh, bagaimana pun jalan hidupnya saat ini, dia pasti akan tetap dipertemukan dengan Bara nantinya.
Dan kalau bukan Bara yang kelak menjadi jodohnya, Biru pun percaya, pasti Allah telah mempersiapkan satu laki-laki yang terbaik untuk Biru.
Biru sedang belajar di kamarnya saat Putih mengetuk pintu dan langsung membuka pintu kamar Biru.
Biru menoleh, melihat Putih yang berjalan kearahnya dengan nampan yang diatasnya berdiri segelas susu putih.
"Dih kesambet apaan lo bawain gue susu?" Biru tersenyum meledek adiknya yang mencebikan bibir.
Putih berdecak setelah menaruh nampan di meja belajar Biru. "Gara-gara lo galau mulu nih, gue jadi disuruh mama bikinin lo susu!"
"Dih? Siapa yang galau sih? Bukannya elo yang galau karena tetangga sebelah?" Aduh emang ya, ngeledekin adik sendiri tuh rasanya seru abis! Bikin ketagihan hahaha.
"Apaan si lo kak! Nggak usah sebut-sebut tetangga sebelah deh!" Putih berjalan ke kasur Biru dan merebahkan dirinya di sana.
Biru memperhatikan dengan heran. Lalu enggan ikut campur urusan adiknya, dia kembali menekuri buku matematika di depannya. Sebentar lagi ujian kenaikan kelas dilaksanakan, makanya Biru harus mulai mencicil belajar dari sekarang.
Bukan karena Biru kerajinan, tapi karena dia sangat-sangat lemah dalam pelajaran itu. Dia bukan Putih yang belajar sekali, langsung paham. Harus berkali-kali belajar, baru Biru akan mengerti.
"Udahan si kak belajarnya! Liat tuh, kepala lo sampe berasap gitu! Nggak cape apa maksain diri terus? Mama Papa kan nggak nuntut lo selalu juara kelas. Yang penting lo enjoy sekolah, nggak sampe stres, toh nilai di rapor nggak menentukan masa depan lo kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Teen Fiction"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...