Sudah lima belas menit berlalu sejak Biru duduk di tempatnya saat ini -kafe yang letaknya tidak terlalu jauh dengan sekolahnya- berhadapan dengan Bara. Memang sih Biru duluan yang meminta untuk bicara dengan Bara. Tapi apa Bara tidak memiliki inisiatif untuk memulai percakapan duluan?
Dan Biru rasa memang Bara tidak memiliki inisiatif tersebut. Astaga! Apa setidak penting itu Biru dalam hidup Bara, sampai-sampai dia nggak mau menjelaskan tentang rencananya untuk kuliah di Jerman itu?
Mentang-mentang Biru bukan siapa-siapanya!
Hah nyesek juga jadi Biru.
Udahnya belum ditembak, eh udah mau ditinggal aja.
Nasib-nasib!
Maka dari pada Biru membuang waktu lebih banyak lagi, akhirnya Biru memutuskan untuk mulai buka suara duluan. “Kata Rara, kamu mau lanjut kuliah di Jerman ya Bar?”
Basa-basi pertama. Ya sebelum masuk ke obrolan inti, Biru harus memulainya dengan basa-basi sebagai pembukaan. Ya formalitas aja sih. Kan nggak enak kalau langsung bicara ke inti. Nanti Bara kaget, kasian kan jadinya hehe.
Bara mengangguk. Ha? Hanya mengangguk? Astaga! Biru geram lama-lama dibuatnya.
Ini dia mau pergi jauh loh! Ngomong apa kek! Apa memang karena Biru bukan siapa-siapanya? Berarti kedekatan mereka selama beberapa bulan kemarin nggak berpengaruh apa-apa ke Bara gitu? Kedekatan mereka selama ini apa setidak berarti itu buat Bara?
“Udah sampai mana persiapannya?” Basa-basi kedua.
Bara mengembuskan napas beratnya. Ditatapnya mata Biru yang sejak tadi dia hindari. Sumpah, Bara merasa bersalah saat ini, dia sudah sangat brengsek pada Biru. Apalagi saat mengingat ucapan Rara semalam kalau Biru sampai nangis gara-gara Bara. Tapi Bara pun tidak memiliki pilihan lain selain mengiyakan perimintaan Ayahnya untuk kuliah jauh di Jerman. Bara nggak ingin mengecewakan Ayahnya. Karena saat mengucapkan keinginannya waktu itu pada Bara, Bara melihat binar harapan di mata Ayahnya. Maka akan menjadi sangat tidak realistis kan kalau sampai dia menolak keinginan Ayahnya hanya karena dia nggak mau meninggalkan Biru?
“Apa yang sebenarnya mau kamu tanyakan Biru?” Bara langsung menanyakan inti dari apa yang ingin Biru tanyakan padanya. Duduk berhadapan dengan Biru saat ini benar-benar membuat Bara ingin menonjok dirinya sendiri.
Biru tertawa sarkas mendengar tanya balik dari Bara. Selanjutnya, tanpa ingin berbasa-basi lagi, Biru langsung mengeluarkan tanya yang bercokol di kepalanya sejak kemarin. “Kita tuh sebenernya apasih Bar? Se-enggak penting itu ya Bar saya dihidup kamu? Sebukan siapa-siapanya itu ya saya sampai kamu nggak ada bilang apa-apa sama saya kalau kamu mau pergi ke Jerman?”
Bara menggeram mendengar pertanyaan Biru. Bara sangat tidak suka mendengar kalimat itu. Emosinya yang memang sedang kacau belakangan ini, menjadi tak terkontrol mendengar pertanyaan Biru. Apa tadi Biru bilang? Nggak penting?
Kalau Biru nggak penting dihidup Bara, nggak akan Bara semenyesal ini untuk pergi. Nggak akan Bara seberat ini untuk melanjutkan kuliahnya ke negeri orang. Dan Biru bilang apa? Bukan siapa-siapanya Bara? Kalau Biru bukan siapa-siapanya Bara, nggak mungkin selama beberapa bulan ini Bara mendekati Biru. Jalan bareng, nonton, makan, dan nyaris setiap hari Bara lakukan dengan Biru. Dan Biru masih tanya kalau dia bukan siapa-siapanya Bara?
KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Jugendliteratur"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...