"Biru bisa ngobrol sebentar?" Bara menghadang Biru yang sedang berjalan ke luar sekolah. Bara tahu hari ini jadwal piketnya Biru, makanya dia sengaja menunggu Biru di dekat gerbang sekolah. Sengaja juga ingin bicara tanpa Rara. Karena kalau ada Rara, yang ada Birunya malah menghindar dan menyuruh Bara ngobrol dengan Rara. Seperti yang sudah terjadi dengan Sarah.
Setiap Sarah hendak bicara berdua dengan Biru, Biru pasti langsung menjadikan Rara tameng dan menyuruh Sarah bicara dengan Rara.
"Saya mau pulang." Kata Biru singkat.
"Saya nggak akan nahan kamu sampai malam." Bara berusaha membujuk.
"Saya mau pulang."
"Biru please—”
"SAYA BILANG SAYA MAU PULANG!" Belum sempat Bara menyelesaikan ucapannya, Biru sudah berteriak di depan Bara. Membuat Bara terkejut karena nggak menyangka Biru akan berteriak seperti itu padanya. Bara pun sempat melihat raut terkejut dari Biru. Seolah-olah Biru juga nggak menyangka kalau dirinya sudah berteriak pada Bara.
Menarik napas panjang, Bara berucap dengan lirih, "Bir please.... Sebentar aja." Berharap Biru akan luluh dan mau bicara dengannya.
Sudah tiga minggu Biru dan Sarah diam-diaman. Oh ralat, Biru yang mendiamkan Sarah. Sarah selalu mencari celah untuk bicara dengan Biru, tapi Biru entah kenapa selalu mendapatkan kesempatan untuk menghindar dari Sarah. Entah Biru sudah tau hubungannya dengan Sarah, atau masih mengira-ngira. Bara juga nggak tau masalah itu. Bara juga nggak tau apakah Biru mendengar semua percakapannya dengan Sarah atau enggak.
"Kalau kamu nggak mau bicara sama saya, kamu mau kan bicara dengan Sarah? Gimanapun dia sahabat kamu." Ucap Bara lagi.
"Biar apasih? Biar saya semakin dikasihani Sarah? Tapi maaf, saya bukan pengemis. Nggak perlu belas kasihan siapapun. Termasuk kamu dan sahabat saya."
Bara mengernyitkan wajahnya. Belum mengerti maksud dari ucapan Biru.
"Maksud kamu apasih? Siapa yang mengasihani kamu?"
Biru memasang ekspresi jengah. "Nggak usah pura-pura nggak ngerti Bar! Saya dengar omongan kamu sama Sarah. Kamu mendekati saya karena kamu disuruh Sarah kan? Karena Sarah terlalu kasihan sama saya yang selalu menghayal tentang kamu. Ada hubungan apa sih kamu dengan Sarah? Pacaran? Sampai-sampai kamu mau aja disuruh Sarah buat mendekati saya."
Oke Bara mengerti sekarang. Biru mendengar percakapannya dengan Sarah. Dan sialnya, Biru salah paham dengan ucapan Sarah. Sarah peduli padanya, bukan hanya kasihan.
"Dan maaf, saya nggak mau bicara dengan penghianat." Biru berjalan melewati gerbang. Meninggalkan Bara yang masih terdiam di tempat semula.
Mendengar perkataan yang baru Biru keluarkan membuat emosi Bara tersulut. Siapa yang dia bilang penghianat? Sarah?
Menyadari itu, Bara segera membalikan badannya, berjalan cepat menyusul Biru agar bisa bicara dengan cewek itu. Biru salah. Sarah bukan penghianat! Sarah justru selalu ingin mengakhiri hubungannya dengan Bara agar Bara bisa dekat atau bahkan jadian dengan Biru. Sesuatu yang akan membuat Sarah sendiri sakit hati.
Sarah selalu ingin berkorban demi Biru. Sahabatnya. Tapi beginikah respon dari orang yang Sarah anggap sahabat?
Bara berdiri di depan Biru yang berjalan di trotoar jalan. Beberapa meter dari sekolah. Lagi-lagi menghentikan Biru. Tapi kali ini, dengan emosi yang minta dikeluarkan. Disekelilingnya, beberapa kendaraan berlalu lalang. Mengeluarkan bunyi yang sudah nggak asing di telinga siapapun.
"Siapa yang kamu bilang sebagai penghianat? Sarah?" Bara menahan diri untuk nggak teriak di depan Biru. Bagaimanapun Biru itu perempuan. Dan bagi Bara, pantang memukul, berteriak, dan mempermalukan perempuan di depan umum seperti ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Bara dan Biru
Dla nastolatków"Saya suka kakak." Kata-kata itu terlontar dari bibir mungil milik Biru. Jantungnya berdegub sangat cepat. Telapak tangannya basah karena keringat. Kaki lemasnya dipaksa untuk tetap berdiri tegak dihadapan laki-laki jangkung itu. "Saya nggak bisa ja...