Chapter 4

5.4K 317 38
                                    

Pulang sekolah kali ini, Ghevi berjalan sendirian ke tempat parkir. Hari ini ia kebagian jadwal piket, alhasil ia menyuruh Melody dan Yasmine untuk pulang terlebih dahulu. Ghevi menuju ke motor Scoopy pink-nya di bawah pohon mangga yang ada di parkiran sekolahnya. Ia memang selalu meletakkan motornya disana karena tempat itu cukup teduh.

Fyi, Ghevi sebenarnya adalah orang kaya. Ayahnya punya dua mobil. Yang satu dibawa ayahnya ke kantor, satunya lagi ada di rumah untuk kepentingan Bundanya jika sewaktu-waktu ingin bepergian. Tapi Ghevi justru lebih suka naik motor. Ayahnya sudah menawarinya untuk diantar jemput oleh supir pribadi, tapi Ghevi menolak. Ia bilang ia kurang bebas jika harus diantar jemput oleh supir. Saat lulus SMP, Ghevi diberi hadiah motor oleh Ayahnya. Sebenarnya Ghevi yang minta karena Ayahnya menawarinya. Ghevi diizinkan mengendarai motor meski belum memiliki SIM. Tetapi, kedua orangtuanya tetap selalu mengawasi putri semata wayangnya itu.

Ghevi terkejut saat melihat seseorang duduk diatas motor sport nya yang berada di sebelah motor Scoopy nya. Orang itu duduk membelakangi Ghevi sehingga Ghevi tidak bisa melihat wajahnya. Yang Ghevi permasalahkan adalah, motor Ghevi terhimpit oleh pohon mangga di sebelah kanannya, dan motor sport itu di sebelah kirinya. Ia tidak bisa mengeluarkan motornya.

"Heh! Siapa lo?! Ngapain lo naro motor lo disini? Motor gue ngga bisa keluar elah."

Pemilik motor yang merasa dirinya dipanggil menengok. Terlihat seorang gadis cantik dikuncir kuda yang sedikit berantakan, mungkin karena efek seharian beraktivitas, sedang menatap kesal ke arahnya.

'Oh my God! Gilang?! Gue ngga mimpi kan? Ini Gilang? Atlet karate itu? Sahabatnya Venus? Ya ampun. Stay cool, Ghev.' batin Ghevi.

"Lo ngomong sama gue?" Tanya cowok itu.

"Iyalah dodol! Disini kan ngga ada cowok selain lo." Cowok itu mengedarkan pandangannya. Parkiran memang sudah sepi siang ini.

"Oh. Yaudah. Gue duluan." Cowok itu menyalakan motornya. Pergi meninggalkan Ghevi. Tetapi sebelumnya, ia sempat membisikkan sesuatu di telinga Ghevi.

"Lo lucu kalo lagi marah."

Ghevi membulatkan matanya. Ghevi merasa agak baper saat itu. Tetapi, melihat tampang Gilang yang kelihatannya tidak serius, Ghevi mencoba menetralkan jantungnya yang sedari tadi berdegup kencang. Ia membalikkan badannya. Ah, cowok itu sudah pergi.

'Gue kan mau jaga image di depan dia. Kenapa gue jadi malah marah marah ke dia ya? Aduh, mana ini jantung deg degan terus.' batinnya.

Ghevi mendekati motornya kemudian melajukannya ke rumahnya.

***

Pagi ini, Yasmine menguap lebar saat Bu Nina keluar kelas. Guru yang mengajar pelajaran biologi itu hari ini menjelaskan tentang perkembangbiakan jamur. Oh, sebagian besar siswa kelasnya mengantuk karena pelajaran biologi kali ini.

"Woy, Yas! Tarikin uang kas gih." Dimas, partner Yasmine dalam kegiatan menarik uang kas menepuk pundak Yasmine. Tak lupa ia membawa sebuah buku dan dompet di tangannya. Buku berisi data pembayaran uang kas kelas, dan dompet berisi sebagian uang kas, karena yang sebagian lagi dimasukkan ke bank oleh Yasmine.

"Gue ngantuk, Dim." Yasmine melipat kedua tangannya di meja dan menelungkupkan kepalanya.

"Bendahara macam apa lo? Buruan elah. Kalo ngga mau gue laporin Bu Wati ni."

"Bodoamat. Gue ngantuk. Jangan ganggu!"

Dimas mencibir. Ia berkeliling kelas sambil menarik uang kas.

"Woy, bayar kas!" Ucap Dimas saat sampai giliran meja Melody dan Ghevi.

Ghevi melirik Dimas. "Sans dong. Berapa punya gue?"

"Gue juga. Berapa?" Melody ikut bertanya.

"Emm..bentar. Ghevi Agnesia...kas lo Minggu lalu juga belum dibayar kan, jadinya sekarang lo harus bayar 20 ribu. Dan lo, Melody Alodya...kas lo cuma buat Minggu ini, jadi 10 ribu."

Ghevi mengerutkan keningnya. Dia lupa kalau ternyata Minggu lalu belum membayar uang kas. Ia mengecek saku seragamnya. Memastikan berapa jumlah uang yang ia bawa hari ini. "Bendahara laknat lo. Uang saku gue habis dong cuma buat bayar kas."

"Gue kagak peduli. Pokoknya lo harus bayar hari ini juga." Ghevi memberikan semua uangnya. Ia malas jika harus berurusan dengan bendahara yang satu ini. Yasmine saja santai, lah ini? Biar saja ia tidak jajan hari ini, asalkan urusannya dengan Dimas selesai.

Melody memberikan satu lembar uang berwarna ungu pada Dimas yang diterima dengan senang hati. Memang dasar bendahara lucknut!

Pikiran Melody tidak fokus sejak tadi. Ia terus kepikiran tentang perkataan Venus kemarin.

'Gue tahu semua tentang lo, Melody.'

Apa saja yang ia tahu tentangnya? Bagaimana bisa ia tahu? Untuk apa dia mengetahui itu? Melody berusaha menyingkirkan semua pertanyaan yang ada di benaknya.

"Ghev, lo ngga ke kantin?"

"Uang gue udah habis buat bayar kas, Dy." Ghevi mengambil buku dari tasnya. Membuka halaman paling belakang. Ia mengambil pulpen dan mulai menyoretkan apa saja yang ada di pikirannya, menghasilkan gambar abstrak, salah satu kebiasaan Ghevi saat gabut.

Melody memutar badannya ke belakang. Ia berniat mengajak Yasmine ke kantin. Ternyata Yasmine tidur. Melody membalikkan badannya, ia beranjak keluar kelas. Ia ingin mencari udara segar.

Melody berdiri di depan kelasnya. Ia memandang ke bawah, tepatnya ke lapangan basket. Terlihat anak anak basket sedang latihan. Kabarnya, bulan depan akan diadakan pertandingan basket di sekolahnya. Yasmine bilang, sekolahnya akan bertanding melawan SMA Pancasila. Melody sedikit tidak peduli dengan pertandingan itu. Toh sekolahnya tahun lalu meraih juara 1 lima kali berturut-turut.

Gadis itu mengedarkan pandangannya. Tak sengaja, pandangannya berhenti di seorang cowok yang baru saja memasukkan bola ke dalam ring. Dia lagi. Melody heran, ia memang tidak asing dengan cowok itu, karena dulu saat masih kelas X, cowok itu sering digosipkan oleh kebanyakan cewek. Apalagi yang digosipkan cewek selain ketampanannya?

Cowok itu, Venus, dan kedua temannya, mungkin sahabatnya, siapa yang tidak kenal mereka bertiga? Venus, Gilang, dan cowok Cina yang belum Melody ketahui namanya. Ghevi bilang, mereka bertiga berada di kelas sebelah, kelas XI IPA 1. Melody heran, mengapa setelah tiga bulan ini ia jarang melihat ketiga cowok itu? Padahal jelas jelas kelas mereka sebelahan. Maklumlah Melody selalu menjauh jika Yasmine atau Ghevi membicarakan cowok. Setelah satu tahun bersekolah di sekolahnya pun Melody belum menghafal semua nama siswa seangkatannya. Mungkin ia sedikit hafal wajahnya, tapi namanya? Ah, masa bodo dengan itu. Melody toh selalu berusaha tersenyum jika mereka tersenyum padanya saat bertemu atau berpapasan.

Saat asyik melamun, Melody merasa ada seseorang yang menepuk pundaknya. Ia berbalik, sedikit terkejut melihat seseorang di depannya sekarang. Venus. Sebelum Melody melamun, cowok itu masih di lapangan, lalu sekarang ada disini? Astaga, Melody pusing membayangkan nya.

Venus memasang muka datarnya. Hanya saja napasnya sedikit tidak teratur dan keringatnya menetes di pelipis dan lehernya. Melody yang sedang menatapnya sebenarnya 'sedikit' terpesona. Sedikit ya! Hanya sedikit! Bayangkan saja, cewek mana yang tidak akan terpesona? Rambutnya basah, keringatnya bercucuran, menggunakan seragam basket kebanggaan sekolah, ditambah lagi kain bertuliskan KAPTEN yang melingkar di lengan kanannya. Sungguh, nikmat mana yang engkau dustakan.

"Gue mau lo ikut kompetisi itu." Ucap Venus dengan suara yang kelewat datar. Melody sangat terkejut mendengar pernyataan itu, mungkin bukan pernyataan, tapi perintah. Venus ini siapa? Ada hak apa di menyuruh Melody untuk mengikuti kompetisi itu?

Melody memang sudah terbiasa dengan kompetisi seperti itu, hanya saja kali ini ia tidak ingin ikut, karena bulan lalu ia sudah mengikuti kompetisi biola yang diadakan di gedung seni yang ada di kotanya. Ia ingin istirahat sejenak dari kompetisi apapun.

Melody tersenyum miring untuk menutupi keterkejutan nya saat mendengar pernyataan, oh, perintah Venus. "Buat apa gue ikut?"

"Gue mau liat penampilan lo." Napasnya sekarang sudah teratur kembali. Ia masih saja stay cool.

"Sesederhana itu alasan lo?"

***

Melody [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang