Nafi dan Gilang yang hampir membuka mulutnya langsung dipotong oleh Venus. "Ssttt, ngomongnya nanti aja. Gue mau ganti baju dulu."
Kedua sahabat Venus akhirnya memilih untuk melanjutkan latihannya dengan rekan satu timnya yang lain. Ya, sore ini mereka berlatih basket untuk pertandingan beberapa hari lagi. Akhir akhir ini, anak anak basket rajin berlatih di lapangan basket indoor SMA Garuda. Mereka akan tanding di kandang sendiri, maka ada sebuah keharusan untuk menang. Terlebih lagi tim lawan adalah SMA Pancasila. Sekolah yang tahun lalu sempat mengalahkan SMA Garuda dengan cara licik. Banyak anggota tim SMA Garuda yang mengalami cidera saat itu. Ditambah lagi kapten basket tahun lalu, Zaky, yang juga mengalami cidera sehingga kerjasama dalam tim berkurang, semua egois, semaunya sendiri.
Nafi mendudukkan dirinya di pinggir lapangan. Ia meneguk air mineralnya hingga kandas. Seragam basket nya sudah dibasahi oleh keringat. Tak lama, Venus yang sudah mengganti seragam sekolahnya dengan seragam basket ikut duduk di samping Nafi. "Ngagetin aja lo, Ven."
"Lo darimana sih? Katanya izin 30 menit doang tadi, eh, gue tungguin sampe 1 jam lebih bro." Akhirnya kata kata Nafi yang tadi terpotong oleh Venus sudah diucapkan. Sebelum pulang sekolah, Venus izin kepada Nafi kalau ia ada urusan. Ya, urusan dengan Melody tadi. Venus hanya izin selama 30 menit, dan ia baru datang ke lapangan 1 jam setelahnya. Nafi yang diberi tanggung jawab sebagai kapten sementara geram saat mengetahui Venus terlambat. Tidak biasanya karena seorang Venus selalu berusaha on time.
"Sori, tadi ada urusan penting, ngga bisa ditinggal."
"Urusan sama Melody?" Venus berdeham singkat untuk menjawab pertanyaan Nafi.
"Lo suka sama Melody?"
Deg.
Venus menolehkan kepalanya ke arah Nafi. Menatap tajam sahabatnya. Hingga suara Gilang menginterupsi, "Woy, kapten! Ayo latian! Buruan, udah pada nungguin noh."
Venus mengalihkan pandangannya. Ia meninggalkan Nafi yang sedikit merasa bersalah. Nafi terbengong melihat punggung Venus yang menjauh. Ia mengambil alih bola dan mendribble lalu melemparkannya asal ke ring, dan...masuk. Nafi beranjak dan ikut bergabung ke lapangan, melanjutkan latihannya.
***
"Ayah, Bunda!" Ghevi berteriak riang menuruni tangga menuju ruang keluarga. Ayah dan Bundanya sedang asyik menonton TV bersama.
"Hei, sini duduk." Ajak Ayahnya, Anwar, menepuk sofa disebelahnya. Ghevi menggeleng. Ia memilih untuk duduk di tengah tengah Ayah dan Bundanya.
"Sayang, kamu ganggu tau." Ucap Bundanya, Difa, kesal.
Ghevi menampilkan sederet giginya. Ia memeluk lengan kanan Difa dan lengan kiri Anwar. Hal itu sontak membuat Anwar dan Difa kebingungan. Putrinya itu gemar sekali bertingkah aneh, kadang manja, kadang tak peduli.
"Kamu kenapa sih?" Tanya Anwar.
"Ngga papa, Yah. Ghevi bosen dikamar, makanya Ghevi kesini. Mau gangguin Ayah sama Bunda." Difa tertawa mendengar penuturan putrinya, "Kamu itu, aneh aneh aja."
Suara bel rumah mengehentikan tawa Ghevi dan kedua orangtuanya. Difa bangkit namun ditahan oleh Anwar, "Biar aku aja." Anwar berjalan menuju pintu utama. Ia membuka pintu, menampilkan punggung seorang laki-laki yang dibalut jaket kulit hitam.
"Siapa?"
Laki-laki itu berbalik badan, ia segera tersenyum dan menyalami tangan Anwar. "Saya Gilang, om."
Anwar membalas senyum Gilang untuk bentuk sopan, "Nyari siapa ya?"
"Nyari Ghevi, om. Saya ini calon pacarnya Ghevi." Jawab Gilang dengan percaya diri yang tinggi. Anwar mengerutkan keningnya bingung, "Calon pacar?"
"Hehee, iya om. Lagi otw."
Anwar yang sudah kebingungan akhirnya mempersilahkan Gilang untuk masuk. Gilang dengan senang hati melangkah kan kakinya masuk ke rumah Ghevi.
"Ghevi, ada yang nyariin tuh."
"Siapa, Yah?" Tanya Ghevi
"Ayah ngga kenal. Tapi katanya, dia calon pacar kamu."
"Eh, anak Bunda mau punya pacar?" Goda Difa.
Ghevi langsung menuju ke ruang tamu. Disana ia melihat... 'astaga, Gilang!' batinnya. Gilang tersenyum manis saat melihat Ghevi datang. Penampilan Ghevi di sekolah dan dirumah ternyata berbeda. Di sekolah, Ghevi selalu berpakaian rapi dan sedikit terlihat lebih dewasa. Sedangkan Ghevi yang dilihatnya sekarang, Ghevi yang urakan dan khas anak anak. Ia mengenakan kaos polos berwarna biru laut, celana diatas lutut berwarna putih, sandal tidur berbentuk kepala kelinci yang juga berwarna putih, rambutnya acak-acakan, matanya sedikit berair dan sudah menyipit, sepertinya ia sudah mengantuk.
"Hai!" Sapa Gilang.
"Ngapain lo kesini?" Tanya Ghevi ketus.
"Silahturahmi."
"Lo pikir lagi lebaran?!"
"Yaudah, jujur nih, gue kesini mau ketemu calon pacar gue." Alis Gilang naik turun menggoda Ghevi.
"Geli gue, Gil." Ghevi memasang tampang jijiknya kemudian duduk di sofa yang berseberangan dengan Gilang.
"Lo mau ngapain sih sebenernya? Udah malem tau. Mana lo ngaku ngaku jadi calon pacar gue, geli tau ngga?!"
"Gue tau ini udah malem. Kan emang bener, lo itu calon pacar gue."
'Jangan baper, Ghev, jangan baper.' batin Ghevi.
"Nah loh, blushing kan lo! Cieee lo blushing gara gara gue." Gilang tertawa terbahak-bahak melihat pipi Ghevi yang sudah memerah. "Ngarep jadi calon pacar gue beneran ya?"
Ghevi merubah raut wajahnya menjadi ketua kembali, "Apaan sih lo. Udah sana pulang. Udah malem. Ngga baik bertamu malem malem, apalagi ke rumah cewek."
"Lo ngusir?"
"Iya. Puas lo?!"
"Galak banget sih lo."
"Suka suka gue."
"Yaudah nih gue balik." Gilang berdiri dari sofa yang ia duduki.
"Eh, udah mau pulang?" Difa muncul dari ruang keluarga bersama Anwar.
"Iya tante. Tuh, anak tante yang ngusir saya." Tunjuk Gilang dengan dagunya.
"Heh! Ngga usah ngadu ngadu lo!" Ghevi berkacak pinggang dan menaikkan dagunya.
"Ssttt, Ghevi, anak cewek harus lembut dong. Ngga usah ngegas gitu." Omel Difa.
"Tuh, dengerin nyokap lo. Nyokap lo aja lembut, anggun, cantik....."
Anwar berdeham keras, menghentikan ucapan Gilang. "Hehee, maaf om, saya ngga ada niat buat nikung om kok." Gilang memasang cengiran kuda.
Setelah berbasa-basi sebentar, Gilang akhirnya pulang. Sialnya, Ghevi disuruh mengantar Gilang sampai pintu depan.
"Gue pulang ya."
"Iya, udah tau. Pulang ya pulang aja sih."
"Ketus banget sih lo. Kagak ada yang suka mampus lo, ntar jones seumur hidup." Gilang memasang helmnya dan mengait kan talinya.
"Lo nyumpahin gue hah?!"
"Ih apaan, pede banget sih lo. Tapi ya, gue heran, kenapa ada satu diantara sekian banyak manusia di dunia ini yang suka sama lo."
"Siapa?"
"Gue."
Jantung Ghevi serasa mau copot saat itu juga. Gilang mengatakan nya dengan fasih seolah tidak ada beban sama sekali. Ghevi mengedepankan beberapa rambutnya, takut kalau ia blushing dan Gilang mengetahuinya.
"Gue duluan."
Ghevi tersenyum tipis. Motor Gilang keluar dari gerbang rumah Ghevi. Ghevi masuk kembali ke dalam rumahnya. Ia tidak mendengarkan Bundanya yang memanggil namanya. Ia langsung naik ke kamarnya. Melampiaskan perasaannya saat ini.
***
Maaf yaa tadi gue ngga sengaja ngehapus chapter ini,,lagi ngedit sesuatu soalnya trs ga sengaja kepencet✌
Next👇
KAMU SEDANG MEMBACA
Melody [TAMAT]
أدب المراهقينSeorang gadis cuek yang menyembunyikan fakta bahwa ia mahir bermain biola. Memiliki dua sahabat yang selalu mendukungnya. Memiliki seorang kakak laki-laki yang sangat menyayanginya. Kehidupan nya sedikit berubah setelah bertemu dengan seseorang yang...