Part 23 - Kegundahan Nara

98 1 0
                                    

Ternyata benar kata orang, ekspetasi tak pernah sesuai dengan realita.
-Dinda-

"Muka lo kenapa ditekuk gitu Ra?" Pertanyaan yang dilontarkan Dinda itu, membuat Nata dan Ferdi yang sedang bermain games balap motor di ponsel masing-masing langsung terhenti dan menoleh ke arah Dinda. Pandangan keduanya menangkap Nara yang sedang berdiri di sebelah Dinda dengan wajah ditekuk.

"Nggak papa," jawab Nara singkat dan langsung duduk di bangkunya.

"Ra. Nanti malam lo kan mau tampil, harusnya lo semangat bukannya sedih!" ujar Ferdi yang sangat prihatin dengan keadaan Nara sekarang. Ia sama sekali tak tahu dengan masalah yang sedang dihadapi Nara. Karena memang ia tak tahu banyak tentang Nara. Tapi sebagai seorang sahabat, Ferdi hanya bisa memberi perhatian. Berharap perasaan Nara bisa sedikit lebih baik.

Gimana gue mau semangat kalau penampilan gue nanti malam jadi penentu hubungan gue lanjut atau enggak sama Ravin?

Seakan mengerti dengan diamnya Nara, Nata pun beranjak dari tempat duduknya dan membawa Nara keluar dari kelas. Membuat Dinda dan Ferdi hanya bisa menghembuskan nafas kasar.

"Kenapa sih tuh anak?" tanya Dinda sambil menoleh sekilas ke Ferdi, yang hanya direspon dengan gelengan kepala. Membuat Dinda kembali menghembuskan nafas kasar, karena Ferdi masih tetap mendiamkannya. Pernahkah Ferdi berpikir, betapa tersiksanya ia selama sebulan lebih didiamkan seperti ini? Sayangnya tidak. Bahkan saat ia menoleh kembali untuk melihat Ferdi, laki-laki itu sudah kembali sibuk dengan ponselnya.

-Nara&Nata-

Setelah membawa Nara keluar dari kelas, Nata pun mengajak Nara ke halaman belakang sekolah dan duduk di sebuah kursi semen yang berada tepat di bawah pohon. Embusan angin yang menerpa kulit keduanya, sama sekali tak mereka hiraukan. Mereka terlalu menikmati moment ini, sehingga membuat keduanya memilih diam untuk beberapa saat. Seolah ini adalah momenr terakhir mereka berdua.

"Masih mikirin Ravin?" Pertanyaan yang dilontarkan Nata, membuat Nara langsung menoleh dan mengangguk pelan. Mengisyaratkan bahwa yang Nata tanyakan itu benar. "Nggak usah terlalu dipikirin Ra! Kita berdo'a aja, semoga setelah Ravin denger lagu yang lo nyanyiin, dia bisa berpikir dua kali buat balikan sama lo. Kalau emang dia beneran sayang, dia pasti lebih milih ngalah dengan ngelepasin lo. Tapi kalau memang yang dia rasain ke lo itu adalah sebuah obsesi, berarti dia bakalan tetap maksa lo."

"Gue takut Nat," lirih Nara yang kini mulai terisak. Air matanya kembali menetes membasahi pipinya. Bahkan kedua bahunya juga naik turun, menandakan jika ia merasakan sesak yang luar biasa.

Melihat hal itu, Nata pun merengkuh Nata dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu menangis di dada bidangnya. Beruntung hari ini tak ada KBM karena guru sedang mempersiapkan acara nanti malam, sehingga ia bisa menenangkan Nara seharian ini. Setidaknya agar Nara bisa tampil dengan baik nanti malam. "Kalau lo mau nangis, nangis aja Ra! Tapi gue mohon, saat lo mau nangis, datang ke gue biar lo nangis dipelukan gue. Cukup gue yang tahu gimana rapuhnya elo Ra, jangan orang lain. Biarkan orang lain tahu kalau lo itu kuat, supaya gue yang jadi tempat untuk lo bersandar. Karena gue akan selalu ada di dekat lo Ra. Kapanpun lo butuh gue, gue akan selalu ada buat lo. Jadi lo jangan pernah ngerasa sendiri. Kita hadapin semuanya sama-sama."

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang