Part 5 - Terimakasih Nata

218 7 0
                                    

Emang yah, kehidupan nyata itu nggak seindah cerita fiksi.
-Nata-

Bel pulang sudah berbunyi dari beberapa menit yang lalu. Dan kini, siswa-siswi mulai berhamburan keluar kelas untuk bergegas pulang. Begitu juga dengan Nata. Setelah semua peralatan menulisnya ia masukan ke dalam tas, ia langsung menyampirkan tas hitamnya di bahu kanan dan langsung berjalan keluar kelas. Dan tepat setelah ia melewati ambang pintu kelasnya, secara tak sengaja ia melihat Ravin sedang berdiri sambil bersandar ke tembok dengan kedua tangan dilipat diatas perut. Nata yakin, Ravin pasti sedang menunggu Nara yang seingatnya gadis itu masih asik mengobrol dengan Dinda. Tanpa ada rasa takut dan ragu sedikitpun, Nata mendekati Ravin dan berdiri tepat dihadapan sang ketua OSIS SMA itu. "Nungguin Nara yah?"

"Lo?" Ravin sangat terkejut saat melihat seseorang yang telah berani mendekati kekasihnya sekarang berdiri di hadapannya. Ia pun langsung menegakan tubuhnya dan memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana bagian depan.

"Iya gue tahu gue ganteng, tapi nggak usah terkejut gitu ngeliat gue nya! Gue bukan setan," ucap Nata sambil terkekeh.

"Ck, ngapain lo disini?" tanya Ravin sambil memutar bola matanya.

"Harusnya gue yang nanya, lo ngapain disini? Nungguin cewek galak itu?"

Nada bicara Nata yang terkesan santai dan bercanda, tentu saja membuat emosinya memuncak. Karena sejak awal, Ravin sangat membenci Nata. Ia yakin jika laki-laki yang ada dihadapannya ini, menyukai kekasihnya.

"Istighfar Vin, tahan emosi lo. Kan nggak lucu kalau tiba-tiba lo kerasukan setan!" ujar Nata sambil menyentuh bahu Ravin. Ia bisa melihat dengan jelas dari sorot mata Ravin, jika laki-laki itu sedang berusaha menahan emosinya.

Tak berlangsung lama, orang yang ditunggu Ravin pun keluar dari kelas. Gadis itu langsung berdiri menghadap Nata dan Ravin. Dengan posisinya yang berada di samping kedua laki-laki itu, Nara bisa melihat dengan jelas bahwa Ravin sangat tak suka dengan Nata. Sementara Nata, laki-laki itu masih tetap biasa saja. Wajahnya terkesan santai. Nara yakin, Nata pasti sedang berusaha memancing emosi Ravin. Tak ingin melihat Ravin kalap, Nara pun lebih memilih untuk menarik tangan Ravin tanpa berkata apapun.

"Kamu kenapa narik aku sih Ra? Harusnya tadi kamu biarin aku hajar dia dulu!" gerutu Ravin sambil mengacak rambutnya.

Saat ini, Nara dan Ravin sedang berdiri di dekat koridor kelas sepuluh. Nara langsung menghentikan langkahnya saat Ravin berhasil melepaskan cengkramannya. "Justru itu Vin, makanya aku narik kamu. Aku nggak mau kalau sampai kamu ngehajar Nata."

Ravin langsung tersenyum sinis dan menatap tajam pada Nara. Ia muak, karena gadis itu selalu menyalahkannya. "Kenapa?" tanya Ravin sinis. "Karena kamu suka sama dia, iya?"

Lelah, Nara sudah benar-benar lelah dengan sikap Ravin. Ntah harus berapa lama lagi ia bersabar dan berharap jika laki-laki yang sekarang berhadapan dengannya akan berubah. Nara mengerti, Ravin mencintainya dan tak ingin kehilangannya. Tapi bukan berarti Ravin bisa seenaknya menghakimi dan mengaturnya. Nara sangat membenci dua hal itu sejak tujuh bulan yang lalu. Namun bodohnya, ia terlalu yakin dengan harapannya waktu itu. Hingga kini ia harus terjebak dalam keposesifan Ravin.

"Kenapa diam?" Ravin kembali bertanya karena sejak tadi gadis dihadapannya hanya diam. Ia sama sekali tak membutuhkan diamnya Nara, yang ia butuhkan jawaban dari gadis itu.

"Udahlah Vin, aku capek. Aku mau pulang!" Nara berbicara seperti itu karena tak ingin berdebat dengan Ravin. Karena baginya, penjelasan apapun yang ia berikan, takkan membuat Ravin berhenti mencurigainya. Jadi lebih baik, ia meminta laki-laki itu untuk mengantarkannya pulang.

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang