Part 28 - Kepoin Nata

113 3 0
                                    

Kadang ada hal yang memang dirahasiakan lebih dulu, sebelum akhirnya muncul kepermukaan.
Agar rahasia itu terkuak disaat yang tepat.
-Nata-

Ferdi sama sekali tak bisa fokus mendengarkan Pak Mawan yang sedang memberi penjelasan mengenai Partai Politik di Masa Orde Baru. Sejak tadi ia terus dihantui rasa penasaran dengan obrolan Nata dan Dinda. Ferdi sadar, sekuat apapun ia membunuh perasaannya pada Dinda, perasaan itu takkan pernah hilang. Ia akui ia cemburu. Meski Nata sahabatnya, tapi Ferdi takut jika Nata juga mencintai Dinda. Apalagi obrolan mereka tadi tampak begitu serius. Untungnya guru berbadan besar dan berkacamata silinder itu tak terlalu memperhatikan siswa-siswi nya, sehingga ia tak perlu takut akan diomeli atau bahkan mendapat hukuman dari guru yang sedang mondar mandir di dekat meja guru itu.

Sesekali Ferdi menghembuskan napas kasar dan mengacak rambutnya frustasi, berharap ia bisa sedikit tenang dan menahan rasa penasarannya. Setidaknya menunggu sampai bel istirahat berbunyi.

"Lo kenapa sih Fer?" tanya Nata dengan berbisik. Ia yang awalnya sibuk mendengarkan dan mencatat poin penting dari penjelasan Pak Mawan langsung berhenti saat pandangannya tak sengaja menangkap Ferdi yang sedang uring-uringan.

"Istirahat nanti lo ikut gue!" Bukannya menjawab, Ferdi justru malah mengucapkan kalimat lain yang membuat Nata langsung menghembuskan napas kasar dan mengangguk pelan setelahnya.

"Baiklah anak-anak, materi hari ini saya akhiri, wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh!" ujar Pak Mawan. Ia langsung menutup materi hari ini begitu bel istirahat berbunyi.

"Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh," respon semua siswa-siswi dengan serentak, yang membuat Pak Mawan langsung berjalan meninggalkan kelas.

"Ikut gue!" ujar Ferdi dengan singkat dan dingin. Setelah itu ia langsung beranjak dari bangkuny dan berjalan keluar kelas.

"Gue keluar bentar yah!" Setelah berpamitan pada Nara dan Dinda, Nata langsung berjalan keluar kelas untuk menyusul Ferdi.

Kini keduanya berada di halaman belakang sekolah. Tempat ini sengaja dipilih Ferdi karena memang hanya tempat ini yang jarang dikunjungi siswa-siswi lain. Paling hanya ada petugas kebersihan yang hendak menyapu daun-daun mangga yang sudah kering dan berserakan, itupun hanya sesekali.

Keduanya terduduk bersebelahan di sebuah kursi semen yang berada tepat di bawah pohon mangga dengan posisi saling memandang satu sama lain.

"Lo ngapain sih Fer ngajak gue kesini?" Nata bertanya dengan dahi yang mengerut. Rasanya aneh saja Ferdi tiba-tiba mengajakny berbicara di tempat sepi seperti ini. Padahal biasanya juga, ia dan Ferdi mengobrol di kelas atau di kantin.

"Lo tadi ngobrol apa aja sama Dinda?" Ferdi malah balik bertanya pada Nata dengan serius. Membuat Nata hanya bisa menghembuskan napas pasrah dan membalas tatapan serius Ferdi.

Gue nggak mungkin ngomong jujur sama Ferdi. Gue nggak mau dia marah sama gue, batin Nata dengan tatapan serius yang berubah sendu. Ia mencoba mencari jawaban lain yang masuk akal sehingga Ferdi percaya. "Gue sama Dinda nggak ngobrolin hal yang aneh-aneh kok Fer, gue cuma ngehibur dia aja. Nggak tega gue liat Dinda sedih. Mungkin kalau dulu, saat Dinda sedih lo yang akan hibur dia. Tapi sekarang keadaan udah berubah. Lagipula lo udah berhasil kan lupain Dinda?"

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang