Part 38 - Nara Gugup

109 4 0
                                    

Hembusan napas kasar dari Nara dan Nata seolah menjadi pemecah keheningan diantara keduanya yang sejak tadi berkutat dengan buku paket kimia, menandakan jika tugas dari Pak Budi sudah selesai dikerjakan.

"Yey ... kelar juga Nat, akhirnya! Dan paling bikin gue seneng adalah, gue udah mulai bisa pelajaran kimia ini berkat lo Nat," ucap Nara dengan excited. Membuat Nata langsung terkekeh.

"Jangan bangga dulu Ra! Lo itu kan baru paham materi ini, nanti kalau materinya beda lagi, lo pasti pusing lagi."

Seketika Nara menunjukan cengirannya. Apa yang dikatan Nata memang benar. Tapi jangan salahkan dirinya, salahkan otaknya yang tak bisa cepat tanggap saat memahami materi pelajaran. "Ya itu dia Nat, masalahnya. Tapi lo mau kan ajarin gue di matematika, fisika, sama kimia?"

"Nggak sekalian Ra,lo minta gue buat ngajarin lo biolologi?" celetuk Nata yang membuat wajah Nara semakin muram."Lo itu anak MIPA, tapi justru lo malah nggak bisa ditiga pelajaran itu. Jangan-jangan pas memilihan jurusan dulu, lo salah milih yah?" tanya Nata penuh curiga.

Nara menggaruk tengkuknya yang tak gatal selama beberapa saat, mencoba mengurangi rasa gugup yang tiba-tiba muncul begitu saja. Nara berdecak kesal dan kembali membuka suara, "Lo tahu kan Nat kalau gue itu lemah dalam materi MIPA? Nah dari situ gue kepikiran buat masuk jurusan MIPA dengan harapan gue bisa kebawa pinter kayak anak-anak yang lain, tapi..."

"Tapi tahunya sama aja," sambung Nata yang kemudian tertawa terbahak-bahak, mendengar penuturan Nara. Gadis di sebelahnya ini memang ajaib, dan mungkin hal itu yang membuatnya bisa menyukai Nara.

Bukannya kesal karena merasa tersinggung, Nara justru malah tersenyum melihat Nata yang sedang tertawa bahagia. Mendadak jantung Nara berdegup dua kali lebih cepat setiap kali ia menatap manik cokelat milik Nata, yang menurutnya sangar menenangkan.

Setelah puas tertawa, Nata memutuskan untuk mencomot biskuit yang ada di toples. Biskuit diatas meja tersebut sudah disiapkan sedari tadi oleh Ambar, bersamaan dengan dua cangkir hot chochocolate. Lebih tepatnya saat mereka berdua baru saja memulai kerja kelompok.

Setelah biskuit yang ambil sudah habis, Nata langsung mengambil cangkir berisi hot chocolate yang ada dihadapannya yang sudah tidak mengepulkan asap lagi. Nata hanya menyeruputnya sedikit, lalu ia taruh kembali cangkur di tangannya ke tempat semula. Nata menoleh kepada Nara yang sedang memandanginya. Membuat Nata membalas pandangan Nara selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia mengucapkan sesuatu yang unfaedah dan tentu saja merusak suasana, "Sebegitu lamanya yah hot chocolate ini nunggu diminum sama kita, sampai-sampai bukan cuma suhunya aja yang berubah, tapi namanya juga? Tadi pas dianter kesini namanya hot chocolate, tapi sekarang udah ganti jadi cold chocolate."

Ah elah, ngerusak suasana aja, batin Nara yang kemudian membuang pandangan ke arah lain.

Nata melirik jam berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelah itu ia langsung menyampirkan tasnya di bahu kanan dan beranjak dari karpet yang sejak tadi ia duduki. "Ra, gue pulang dulu yah, udah sore soalnya."

"Kok buru-buru amat sih Nat? Rumah kita kan deketan, kenapa nggak nanti aja?" Entah kenapa tiba-tiba Nara tak rela jika Nata pergi dari rumahnya? Nara merasa jika kepergian Nata bukan hanya sekedar ingin pulang ke rumah, tapi juga pergi meninggalkannya. Sehingga sebisa mungkin ia menahan Nata agar tetap berada di rumahnya.

"Cie ... jadi ceritanya sekarang, lo nggak bisa jauh-jauh dari gue?" goda Nata sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Dalam hati, Nata tetu saja senang mendengar penuturan Nara. Membuatnya merasa jika Nara merasa nyaman berada di dekatnya, dan itu sudah cukup bagi Nata. Sehingga ia tak perlu lagi takut menyatakan perasaannya.

Ingin rasanya Nara menjawab iya, sebagai jawaban dari pertanyaan yang Nata berikan. Tapi Nara takut jika Nata malah menyadari jika ia mulai menyukai laki-laki itu. Dan pasti, Nata akan semakin GR, tentunya. Akhirnya dengan berat hati, Nara memberi jawaban yang berlawanan dengan isi hatinya. "Nggak usah GR!" ujar Nara sambil menabok pipi Nata. Namun kemudian, Nara mengucapkan kalimat tegas yang tak terbantahkan pada Nata, "Pokoknya lo nggak boleh pulang!"

"Gue mau mandi Ra,badan gue udah lengket banget sama keringat. Janji deh, nanti jam tujuh gue main lagi kesini."

Kini Nara ikut bangkit, dan berdiri menghadp Nata sambil menggenggam kedua tangan Nata , "Kalau mandi, lo bisa mandi disini Nat. Lo bisa mandi di kamar mandi yang ada di kamar gue. Tapi please, jangan pergi."

Ada rasa tak tega yang muncul dalam benak Nata,melihat ekspresi Nara yang mengharapkan ia tetap disini. Tapi jika ia menuruti Nara untuk tetap disini dan numpang mandi di kamar mandi yang berada di kamar Nada juga percuma. Pada akhirnya ia harus tetap pulang untuk mengganti pakainnya. Jadi lebih baik, ia sekalian saja mandi di rumah. Nata menghembuskan napas kasar dan menangkup wajah Nara. Perlahan ia menyampaikan apa yang menjadi keputusannya, "Percuma juga gue mandi disini kalau ujung-ujungnya harus pulang buat ganti baju . Jadi lebih baik gue mandinya di rumah sekalian. Nggak papa kan?"

Nara diam. Mempertimbangkan ucapan Nata sebaik mungkin. Apa yang dikatakan Nata itu, benar. Kalaupun dia mandi disini, dia harus tetap pulang untuk mengganti pakaian. Membuat Nara akhirnya mengiyakan ucapan Nata.

Begitu mendapat respon positif dari Nara, Nata refleks tersenyum dan mengusap puncak kepala Nara selama beberapa saat. "Ya udah, gue pulang dulu Ra!"

"Tapi janji nanti jam tujuh balik lagi!" pinta Nara, menagih janji Nata.

Nata menurunkan kepalanya dari puncak kepala Nara dan mengembuskan napas kasar. "Iya," respon Nata sambil tersenyum. Setelah itu, Nata langsung berbalik dan berjalan ke luar rumah Nara.

Begitu sampai di teras, Nata mendongakan wajahnya sekilas untuk menatap langit. Malam ini tak ada bulan dan satupun bintang yang menghiasi, karena tertutupi awan gelap. Sepertinya malam ini akan turun hujan, begitulah pikir Nata sebelum  akhirnya berjalan menuju rumahnya yang ada di sebelah.

-Nara&Nata-

Sampai di rumah, Nata merebahkan sejenak di atas kasur setelah ia menyetel radio yang berada di meja belajarnya. Lagu dari Mike Mohade berjudul Sahabat Jadi Cinta, lagi-lagi terputar merasuki pendengarannya.

Nata menatap langit-langit kamarnya, dengan kedua tangannya yang tertekuk ia jadikan bantal. Seulas senyuman manis tercetak jelas di bibir tipisnya, saat membayangkan Nara sedang tersenyum menatapnya di langit-langit kamar. Kali ini iamengakui sendiri, jika dirinya sudah seperti orang gila yang tersenyum sendiri. Lebih tepatnya gila karena cinta. Sekarang sesuatu hal klise tentang sebuah persahabatan berubah cinta yang hanya ada di novel-novel, kini ia alami sendiri. Benar kata orang, jangan terlalu menyangkal ucapan orang. Boleh jadi satu hari nanti, hal itu harus kita jalani. Dan sepertinya ia akan mengatakan perasaannya pada Nara nanti. Sekalipun Nara tak mencintainya, Nata tak perduli. Yang terpenting ia sudh berbicara jujur pada sahbatnya itu. Tapi sepesimis apapun dirinya, ia tetap berharap jika Nara juga mencintinya.

Setelah puas berbaring dan memikirkan Nara, Nata pun beranjak dan bergegas mandi. Selesai mandi, ia pun mengganti seragamnya dengan kaos putih polos yang ia balut dengan jaket berwarna hitam. Jaket yang ia gunakan sekarang, adalah jaket yang sempat ia pinjamkan dulu pada Nara saat menolong gadis itu dari Ravin. Sementara bawahannya, ia memakai celana jeans yang berwarna senada dengan jaketnya.

Nata tersenyum menatap pantulan dirinya di cermin. Ia akui badannya tak sebagus badan Ravin dn Ferdi yang berotot. Tapi untuk masalah tampan, ia tentu saja tak kalah tampan dari Ravin, Ferdi, Darwin, dan teman-temannya yang lain. Setelah puas melihat penampilannya, Nata pun menyemprotkan sedikit minyak wangi ke tubuhnya, sebelum akhirnya ia bergegas pergi menuju rumah Nara.

Thanks for reading and see you next part!!!

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang