Part 25 - Kenyataan Pahit

136 4 0
                                    

Tuhan memang baik, tapi bukan ini yang aku mau.
-Nara-

Nata sesekali melirik Nara yang duduk di sebelahnya. Senyuman bahagia Nara, membuat Nata semakin bingung. Ia terus berpikir keras untuk menyampaikan sesuatu yang terjadi pada Ravin. Helaan nafas Nata menjadi teman suara mesin mobil yang dikemudikan Nata. Ia pun mengumpulkan keberaniannya untuk memulai berbicara. "Ra, lo nggak ada niatan buat nanya, kenapa Ravin tadi nggak dateng?"

Senyuman di bibir Nara luntur seketika. Laki-laki bernama Ravin itu, kembali membuat mood nya hancur. Padahal malam ini ia sedang merayakan malam kebebasannya dari Ravin. "Ngapain, toh dia juga bukan siapa-siapa gue lagi," respon Nara sedikit ketus.

"Tapi gimanapun juga, dia pernah ada di hidup lo Ra. Jadi lo tetap harus tahu tentang Ravin."

Nara berdecak kesal sambil memutar bola matanya malas, "Emangnya Ravin kenapa?"

Sebelum menjawab, Nata memilih untuk menepikan mobilnya terlebih dahulu. Nata yakin, setelah ini Nara tidak akan baik-baik saja. "Pesawat yang ditumpangi Ravin kecelakaan Ra. Pak kepsek tadi ngeshare berita itu di grup chat sekolah. Dan Ravin emang ada didaftar penumpang pesawat itu. Dia ... meninggal Ra." Di kalimat terakhir, suara Nata berubah lirih saat ia melihat setetes air mata meluncur di pipi Nara. Membuatnya langsung menghentikan mobilnya di pinggir jalan.

"LO BOHONG KAN NAT! LO BOHONG!" teriak Nara sambil mengguncang bahu Nata. Nara tak percaya jika Ravin meninggal. Sebenci apapun Nara pada Ravin, Nara juga tak ingin hal buruk menimpa laki-laki itu. Bagaimanapun juga, Ravin pernah ada dalam hatinya. Meski laki-laki itu tak selalu membuatnya bahagia.

"Itu kenyataannya Ra," jawab Nata dengan mata yang sudah mulai memerah. "Lo tahu kenapa tadi gue nggak mau minjemin ponsel gue ke lo? Lo tahu nggak area terlarang yang gue maksud?" Nata menjeda sejenak pertanyaannya untuk memberikan jawaban dari pertanyaannya sendiri, "Karena gue nggak mau penampilan lo hancur karena berita kecelakaan Ravin. Area terlarang yang gue maksud itu, berita tentang Ravin. Bukan area terlarang yang lo maksud."

Tangisan Nara semakin histeris. Ia menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kedua bahunya juga naik turun, menandakan jika ia merasakan sesak yang luar biasa dalam hatinya. Ia memang ingin Ravin tak datang malam ini, tapi bukan dengan cara Ravin pergi meninggalkannya untuk selamanya. Ia memang ingin terbebas dari laki-laki posesif itu, tapi bukan dengan cara Tuhan mengambil nyawanya. Tuhan memang baik, tapi bukan ini yang aku mau, batin Nara berbicara, meralat kalimat yang sempat ia ucapkan tadi di pelukan Nata.

Andai Nara tahu akhirnya akan seperti ini, ia pasti akan menuruti semua permintaan Ravin satu bulan lalu untuk mengantar laki-laki itu ke bandara. Andai Nara tahu jika itu momen terakhirnya bersama laki-laki itu, Nara pasti akan membuat Ravin bahagia, bukan malah membuat laki-laki itu marah padanya. Nara bodoh, ia benar-benar bodoh. "Gue bodoh Nat, gue bodoh. Harusnya gue lakuin semua kemauan Ravin, sebelum dia pergi ke Singapur. Harusnya gue bikin dia bahagia malam itu, bukannya malah bikin dia marah. Gue jahat Nat sama Ravin, gue jahat!"

Nata memutar posisi duduk Nara agar menghadap ke arahnya, lalu merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Berharap emosi dan tangisan Nara dedikit reda. Nata tak tega melihat Nara terus menyalahkan dirinya sendiri, tapi Nata juga tak bisa berbuat apapun. Semua sudah terjadi. Ravin sudah benar-benar pergi untuk selamanya. "Udah Ra, lo nggak boleh nyalahin diri lo sendiri. Semuanya udah terjadi Ra. Tangisan lo nggak akan bikin Ravin balik lagi. Emosi lo nggak akanbikin lo balik ke masa lalu. Yang harus lo lakuin sekarang, do'ain Ravin. Do'ain dia supaya tenang disana. Besok kan hari minggu, kita ngelayat ke rumah Ravin. Karena sekarang cuma ini yang bisa kita lakuin."

Tangisan Nara perlahan mereda. Perasaannya sedikit demi sedikit membaik, setelah mendengar penuturan Nata. Meski begitu, Nara masih tetap shock dengan berita ini. Dan sepertinya ia yang terakhir tahu, dibanding teman-teman satu sekolahnya yang lain. Itu terjadi karena ia lupa membawa ponselnya. Kini pandangan Nara tertuju pada gedung-gedung mewah di pinggir jalan yang ia lewati. Ia sama sekali tak memperdulikan Nata yang kini sudah kembali mengemudikan mobil. Yang Nara inginkan sekarang, cepat sampai rumah dan mengecek ponselnya. Nara yakin, Ravin pasti takhentinya mengiriminya chat di Line. Nara tak sabar ingin membaca chat-chat Ravin. Jika sebelumnya chat dari Ravin adalah chat yang paling malas untuk ia baca, maka malam ini sebaliknya. Dan apa yang terjadi dalam hidupnya sekarang, adalah hal terbodoh yang telah ia lakukan. Menyia-nyiakan orang yang paling mencintainya. Laki-laki itu tulus, meski cara Ravin mencintainya salah. Dan itu yang membuat Nara tak suka. Hingga perasaannya pada Ravin perlahan menghilang dan berganti jadi benci. Tapi satu hal yang membuat Nara bahagia, Ravin benar-benar menepati janji untuk selalu mencintainya hingga mati. Laki-laki itu meninggal dengan hati yang masih miliknya, meski Nara telah menciptakan luka di hati itu.

"Ra. Udah, jangan dipikirin terus! Gue nggak mau lo jadi terpuruk. Gue pengen ngeliat lo bahagia terus, kayak kita masih kecil dulu," ucap Nata sambil mengusap lembut bahu Nara dengan tangannya.

"Gimana gue bisa tenang Nat, Ravin meninggal sebelum gue sempet bahagiain dia. Dia udah ngasih banyak hal ke gue, tapi apa yang gue kasih ke dia? Gue nggak pernah ngasih apa-apa. Dia selalu punya banyak cara untuk ngebuat gue bahagia, tapi gue? Gue nggak pernah bikin dia bahagia. Dia selalu berusaha buat ngertiin gue, tapi gue? Gue nggak pernah ngertiin dia. Gue cuma bisa ngeluh sama ngeluh, tentang dia yang selalu posesif. Sementara dia selalu ngorbanin perasaannya sendiri untuk maafin gue," respon Nara lirih. Air matanya kembali meluncur bebas tanpa ia minta. Ia juga ingin berhenti menangis, Tapi air matanya tak mau berhenti mengalir.

Sampai di depan gerbang rumah Nata, Nara langsung turun begitu Nata menghentikan mobil dan bergegas menuju rumajnya tanpa memperdulikan tetangganya yang terus menatap iba padanya.

Sampai di kamar, Nara terduduk di lantai dekat nakas dengan punggung bersandar pada tempat tidurnya. Ia meraih ponselnya yang berada di nakas dan melihat puluhan isi chat Ravin beberapa jam lalu.

RavinNarendra
Ra, aku udah mau naik ke pesawat. Do'ain aku biar selamat sampai tujuan.

RavinNarendra
Ra, untuk ulang tahun sekolah kita tahun ini, aku ngundang The Overtunes biar kamu senang. Kamu kan suka banget sama grup itu, apalagi Mikha Angelo.

RavinNarendra
Pas tampil nanti kamu jangan tegang, karena aku akan berusaha supaya datang tepat waktu.

RavinNarendra
Ra, pesawat aku kok terbangnya makin lama makin nggak enak yah?

RavinNarendra
Ra, aku takut Ra. Pesawatnya kayak mau jatuh.

RavinNarendra
Kamu kenapa nggak respon Ra, padahal aku pengen baca chay kamu sebelum aku kenapa-napa.

RavinNarendra
Kalau nanti aku meninggal, jaga diri kamu baik-baik. Jangan sedih apalagi nangis. Aku sayang kamu.

Lagi. Tangisan Nara pecah, setelah membaca beberapa chat dari Ravin. "Jadi kamu beneran ada di pesawat itu Vin? Dan kamu ketakutan disana. Maaf, aku nggak bisa nemenin kamu buat ngilangin ketakutan itu Vin, maaf." Nara menggenggam erat ponselnya, seolah itu adalah Ravin yang akan pergi dan ia cegah. Andai saat itu ia tak menutuskan Ravin, pasti kejadiannya tak akan seperti ini. Ravin pasti masih ada di Singapura dan baru akan pulang besok pagi. Dengan begitu, Ravin pasti masih ada. Dia takkan meninggalkannya secepat ini dan dengan cara setragis ini. Nara lalu menarik laci nakas di sebelahnya dan mengambil foto Ravin yang sudah ia figura. Nara menatap lekat foto Ravin yang sedang tersenyum padanya. Karena foto ini, ia ambil dengan menggunakan kamera ponselnya. "Aku tahu maaf aku nggak akan bisa bikin kamu balik. Aku tahu tangisan aku nggak akan bisa bikin mata kaku terbuka lagi. Dulu, aku selalu bilang kalau kamu egois, padahal kenyataannya aku juga egois. Dulu aku pikir, cuma aku yang sakit, padahal kita sama-sama sakit. Aku ngerti sekarang, kamu posesif karena takut kehilangan aku. Dan bodohnya, aku terlaku buta untuk melihat itu. Sekali lagi aku minta maaf, walaupun maaf aku sudah terlambat."

Thanks for reading and see you next part!!!

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang