Part 52 - Dijodohkan

222 8 0
                                    

"NATA!"

Nata yang baru saja melewati ambang pintu kelas refleks menutup telinga saat mendengar teriakan Ferdi, Darwin, dan Hendra, yang menyebut namanya sambil berlari menghampirinya.

"Niat banget sih lo bertiga mau bikin kuping gue budeg," gerutu Nata sambil mengusap kedua telinganya yang pengang karena mendengar teriakan ketiga sahabatnya.

"Kita kangen!" ujar Ferdi, Darwin, dan Hebdra, yang langsung memeluk Nata secara bersamaan.

Pelukan mereka yang tiba-tiba, nyaris membuat Nata terhuyung ke belakang kalau saja ia tak berusaha menyeimbangkan tubuhnya. "Lepasin gue, gue nggak bisa napas nih!"

Setelah mendengar keluhan Nata, baik Ferdi, Darwin, maupun Hendra, langsung melepaskan Nata dari pelukan mereka.

"Maaf Nat, kita terlalu seneng. Gue pikir lo nggak akan balik lagi kesini, dan gue bakal duduk sendirian lagi kayak dulu."

Nata terkekeh mendengar penuturan Ferdi. Membuatnya langsung menepuk bahu laki-laki yang berhadapan dengannya itu.

"Oh iya Nat, soal beasiswa lo gimana? Lo nggak ambil kan Nat?" tanya Hendra dengan serius. Ia sadar pertanyaan itu tak seharusnya ia lontarkan, karena sahabatnya itu berhak mendaoatkan yang terbaik untuk masa depannya nanti. Tapi jauh dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak ingin kehilangan salah satu sahabatnya itu.

Sementara tanpa keempat laki-laki itu sadari, Nara yang sedang berdiri di dekat ambang pintu juga penasaran dengan jawaban Nata mengenai beasiswa itu. Kalau saja keadaannya masih sama seperti dulu, sudah sejak tadi ia menanyakan hal itu.

"Rahasia dong," jawab Nata yang langsung membuat ketiga sahabatnya dan Nara mendengus kesal. Tanpa memperdulikan mereka, Nata pun berjalan menuju bangkunya yang ada di sebelah bangku Ferdi.

"Nat!"

Lagi-lagi Nata mendengus kesal saat ia mendengar suara seseorang yang duduk di hadapannya menyebut namanya. "Apa lagi? Masih mau maksa gue buat datang ke acara ulang tahun lo?" tanyanya ketus sambil menatap tajam ke arah Nara.

"Iya. Gue nggak akan nyerah buat maksa lo datang ke acara ulang tahun gue besok."

"Tapi sayangnya, jadwak keberangkatan pesawat ke New York besok pagi jam sembilan," respon Nata yang kemudian tersenyum sinis.

Air mata Nara yang sudah sempat mengering kembali menetes. Jika jadwal keberangkatan Nata jam sembilan pagi, berarti laki-laki itu memang tidak akan datang ke acara ulang tahunnya. Padahal ia sangat ingin Nata selalu menemaninya saat acara penting besok.

"Lo nggak perlu nangis! Air mata lo nggak akan ngerubah apapun."

"Tapi Nat, gue takut. Gue takut kalau pesawat yang lo tumpangi nanti akan bernasib sama kayak pesawat yang ditumpangi Ravin. Mungkin Tuhan dulu ngasih kesempatan ke dia buat selamat, tapi kalau Tuhan malah ngambil lo gimana?"

Seketika Nata membelalakan matanya mendengar penuturan Nara. Karena ucapan yang Nara lontarkan seolah mendoakannya agar cepat meninggal. "Jadi maksudnya,lo ngedoain gue buat cepet mati? Iya?"

Secepat kilat, Nara menggeleng. Ia tak mungkin mendoakan laki-laki yang sangat dicintainya agar cepat meninggal.

Sementara Ferdi yang baru saja duduk di sebelah Nata hanya terdiam memperhatikan perdebatan keduanya sambil terus mengingat ucapan Nata tadi. Tapi begitu melihat Nata membuka mulut hendak berbicara pada Nara, ia langsung membuka suara untuk menghentikan perdebatan kedua sahabatnya. "Kalau gitu, besok sebelum berangkat sekolah gue mampir ke rumah lo yah Nat!"

"Mampir aja Fer, nggak papa kok," respon Nata sambil tersenyum pada Ferdi.

Senyuman Nata yang ditujukan pada Ferdi membuat Nara langsung tersenyum miris. Dulu Nata selalu menunjukan senyuman itu padanya,bahkan lebih manis daripada itu. Tapi sekarang, jangankan tersenyum, berbicara dengannya saja Nata selalu ketus.

NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang