12-

2.5K 140 4
                                    

Aku bersama Doni pergi ke ruang kepala sekolah. Raut wajah Pak Pachrur sangat sinis kepadaku. Aku tidak merasa takut sama sekali dengan dirinya sekalipun aku akan mendapat hukuman yang berat itu akan aku lakukan .

GUBRAK !!

Pak Pachrur menggebrak meja dengan keras membuatku dan Doni membelakan mata. Beliau memandang diriku dengan begitu sinisnya. "JINGGA MODI TAMA HERMAWAN, kamu sudah kelas 2 SMA apa selama 2 tahun ini kamu disekolah di ajarin berantem ? Kamu itu murid pintar tapi kalau kelakuan kamu kaya gini sama aja kaya murid bodoh di luaran sana yang gak punya etika dan otak ! Kamu pikir setiap masalah bisa diselesaian pakai cara berantem. Kamu itu sama aja kayak Bapak mu suka bikin onar. Apa alasan kamu mukul Doni sampai babak belur gini?".

Aku memandang geram ke arah Doni mengusap bibirku pelan kemudian memandang ke arah Kepala Sekolah dengan tak kalah sinisnya. "Coba kalau Bapak yang berada di posisi saya, apa yang bakal Bapak lakuin kalau liat orang yang kita sayang saudara kita di bikin celaka sama orang. Apa Bapak cuman diam doang ? Pasrah nerima keadaan ? Saya bikin cowok brengsek ini babak belur karena dia udah bikin Adik saya celaka sampai masuk rumah sakit dengan kondisi kepala adik saya terkena benturan keras. Untung cuman robek Pak coba kalau adik saya amnesia, siapa yang mau tanggung jawab ?". Ucapku tak kalah keras dari suara kepala sekolah.

"Yang sopan kamu bicaranya Jingga".  Kepala Sekolah menampar ku karena aku sudah berkata keras dan lancang kepadanya. Aku semakin marah dengan Doni. Aku kembali menghujani dirinya dengan berbagai jurus pukulan yang aku miliki.

Doni juga tak tinggal diam. Dia membalas pukulan yang aku layangkan untuknya. Kami kembali beradu pukulan di ruang kepala sekolah lagi dan tanpa memperdulikan siapa di hadapan kita. Kali ini Doni tak mau kalah dia memukul ku dengan keras begitu juga sebaliknya.

PLAK PLAK.

Kepala sekolah menampar aku dan juga Doni. Membuat perkelahian ini harus berhenti.

"Doni sekarang kamu jelaskan bagaimana kejadiannya sehingga Senja bisa seperti itu " Perintah Pak Pachrur dengan menudingkan telunjuknya kepada wajah Doni.

Doni melirik ku sinis. " Jadi gini Pak. Saya awalnya mau ngajak Senja ke kantin bareng karena kondisi kakinya Senja yang lagi sakit dan bengkak saya kasihan liat dia jalan jauh ke kantin, jadi saya gendong dia. Cuman pas saya gendong Senja jewer telinga saya dan itu sakit banget Pak. Karena ulah Senja saya jadi hilang keseimbangan dan saya gak sengaja ngelepasin Senja dari gendongan. Senja jatuh dan kepalanya kebentur pot besar di depan kelas saya. Pas saya mau nolongin, Jingga udah datang bawa Senja pergi "

"Kalau lu gak maksa buat gendong Senja, dia gak bakalan gitu Njing !" Gertak ku kesal dan kembali memukul Doni.

Pak Pachrur kembali melerai ku dengan Doni. Menyeretku menjauh dari Doni. "JINGGA, STOP !! Kamu mulai hari ini Bapak skors selama 2 minggu. Besok suruh Ayah mu menemui Bapak."

Aku malas untuk kembali berbicara kepada mereka yang ada disini. Aku pergi meninggalkan ruang kepala sekolah dan menuju ke kelas untuk mengambil tas ku kemudian pulang ke rumah sakit bertemu Senja.

"Jingga". Panggil seseorang dengan langkah berlari ke arahku. Aku menengok melihat siapa yang memanggilku.

"Nadine?".

Nadine memeluk dan mengusap lembut wajah ku yang penuh luka lebab dan darah segar. "Sakit ?"

Aku menepis pelan tangan halus Nadine dari wajahku dan melepas pelukannya."Aku gak apa-apa. Aku suka sama kamu, aku juga sayang sama kamu Nadine."

"Aku juga suka dan sayang sama kamu Jingga." Jawabnya memeluk kembali diriku. Ku biarkan Nadine memeluk ku sebelum aku pergi dari sekolah ini dan sementara aku tidak bertemu dengannya selama 2 minggu.
Kemudian aku melepaskan Nadine dan pergi dari sekolah ini. Nadine terlihat bersedih aku benci melihat dia menangisi keadaan ku.

Di perjalanan sebelum sampai rumah sakit, aku berhenti sebentar untuk mampir ke sebuah apotek membeli obat merah dan plester. Aku tidak ingin Senja dan Bunda khawatir atau bahkan mereka akan marah karena kelakuan ku di sekolah tadi. Luka lu sidah selesai aku bersihkan dan obati kini aku kembali melanjutkan perjalanan ku ke rumah sakit.

Sesampainya di depan rumah sakit aku membayar argo taksi kemudian berjalan ke ruang inap Senja di lantai 3. Senja sudah dipindahkan dari ruang IGD tadi dan aku mendapat kabar lewat pesan singkat Bunda.

"Jingga. Kamu kenapa babak belur gini?". Bunda menghampiriku melihat luka-luka yang ada di wajah dan tubuhku. Meskipun aku menutupinya dengan plester itu tidak akan bisa menyembunyikan dari pandangan siapapun.

"Maaf Bun, Jingga abis berantem sama orang yang udah bikin Senja begini. Besok Ayah di minta datang ke sekolah " Aku menghindar dari Bunda duduk di sofa yang tak jauh dari bed dimana Senja berbaring.

Bunda hanya diam tak berkata apa-apa lagi karena Bunda sudah sangat paham sikap ku. Bunda mengerti apa yang aku lakukan barusan karena sebelumnya aku juga pernah berkelahi dengan orang yang sudah membuat Senja celaka 2 tahun lalu tepatnya waktu aku duduk di bangku SMP kelas 3. Itu karena dulu Senja pernah dikeroyok dan dikerjai habis-habisan oleh siswa dari sekolah lain hanya karena orang itu tidak terima cinta monyetnya di tolak oleh Senja. Bunda sangat mengerti kalau aku akan berbuat brutal jika orang yang disayangnya mendapat perlakuan yang tidak senonoh atau orang yang disayangnya celaka karena kelakuan orang lain. Aku sekarang lebih memilih untuk merabahkan tubuhku dan memejamkan mata disini.

Tak terasa aku tidur cukup lama. Ku lihat jam dinding yang melekat di tembok menunjukan pukul 7 malam. Ku lihat sudah tidak ada Bunda, kata Senja tadi Bunda pulang jam 7 dijemput Ayah. Mereka sengaja tidak membangunkan aku karena wajah ku terlihat pulas saat tidur. Aku melihat sepiring nasi milik Senja. Jatah makan malam belum dia makan aku akan menyuruhnya untuk menghabiskanya.

"Kok gak dimakan ? Kakak suapin ya" Aku mengambil nampan makanan di atas meja menyendokan sesuap nasi untuk Senja.

"Kak, kenapa si harus berantem sama dia ? Lagian sebenarnya Senja yang salah karena yang mulai duluan kalau Senja gak begitu sama Doni pasti aku gak bakal jatuh dan Kak Jingga gak kena skors selama itu." Ungkap Senja mengusap dahi ku yang terbungkus plester.

"Gak apa-apa Sayang. Lagian cuman skors doang kok. Yaudah kamu abis ini minum obat terus istirahat." Aku meletakan nampan makanan lalu mengambilkan Senja obat.

Setelah Senja meminum obat aku menyelimuti dirinya. Senja sudah tertidur pulas kini aku juga merebahkan diriku di sofa merah menemani Senja malam ini. Aku tidak ingin kedua orang tua ku kelelahan karena harus menjaga Senja disini. Tubuhku rasanya remuk sekali luka di tubuh dan wajah ku juga terasa perih. Doni, aku tidak suka mendekati Senja adik ku meski aku dan dia teman dalam bermain basket dan lumayan dekat, tapi justru karena aku berhubungan dekat dengan Doni aku jadi tahu sifat aslinya dan aku tidak akan pernah setuju jika Doni mendekati Senja.

SENJA & JINGGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang