17.) Tujuh Belas

1.2K 100 11
                                    

Nk Pov.

Tak ada yang spesial di hari Minggu kali ini. Hanya duduk di balkon kamar memandang langit yang mulai menurunkan buliran buliran bening. Kenyataan itu yang kembali menggerayangi pikiranku membuat sakit itu muncul lagi. Alasan kebahagiaan Papa harus menjadi hal menyakitkan untukku. Pernah terbesit di pikiranku untuk mengorbankan hubunganku saja.

Prok... Prok... Prok...

Aku segera menoleh ke sumber suara tepukan tangan. Di bawah sana sudah berdiri seorang lelaki. Dapat aku lihat senyuman tersungging di bibirnya. Tanpa buang waktu, aku langsung meninggalkan balkon untuk menemui lelaki itu.

Saat lelaki itu sudah ada di hadapanku, aku memandanginya tak berkedip. Senyumannya justru membuat air mataku mengalir.

"Ngapain lo disini? Gimana kalau Papa marah?"

"Gue cuma mau ketemu sama lo. Emang salah kalau ketemu pacar sendiri? Gue gak peduli Papa lo marah."

Aku berjalan ke arahnya. Aku memeluk lelaki itu. Lelaki yang tak lain adalah Mungga, kekasihku. Aku tak peduli dengan hujan yang semakin deras.

"Lihat (nam), langit tau suasana hati kita."

"Maafin gue yang gak bisa hubungin lo. Papa ambil hp gue."

"Gak masalah (nam). Yang penting gue sekarang ada disini. Gue bisa ketemu sama lo."

Aku melepas pelukanku. Mataku bertemu dengannya. Untuk kesekian kalinya, aku melihat sisi lemah Mungga. Rasa sakit itu melintas lagi.

"Gue gak mau kayak gini Mung."

"Gue juga (nam)."

Dalam derasnya hujan, aku dan Mungga menumpahkan segala kesedihan yang ada. Hujan yang semakin deras menjadi pertanda suasana hati kami yang semakin sakit. Tuhan terlalu cepat mengambil kebahagiaan kami.

"Nk!" Bentakan itu sukses menghempaskanku dari suasana kedamaian penuh pilu. Sebuah tangan menariku kasar menjauhi Mungga.

"Jangan sakiti Nk Om!"

"Saya tidak akan membiarkan kamu dekat sama Nk lagi!"

"Dan saya tidak akan peduli dengan semua larangan Om. Apa Om tega lihat Nk sedih? Dimana letak hati Om yang mementingkan kebahagiaan sendiri?"

"Diam kamu bocah!"

"Bocah? Apa lelaki 17 tahun pantas disebut bocah Om?"

"Beraninya kamu!"

Bugh....

Satu pukulan berhasil mendarat di rahang Mungga. Aku berteriak histeris dan mendekati Mungga. Namun, Papa mencengkeram pergelangan tanganku.

"Jangan dekati dia Nk!"

"Pa, Nk mohon jangan sakiti Mungga."

"Jauhi dia maka Papa tidak akan menyakitinya!"

Aku hanya bisa menangis. Mungga menatapku dengan anggukan.

"Masuklah (nam), gue baik baik aja. Gue bakal cari cara untuk mengembalikan segala kebahagiaan kita."

Aku terus menangis dan menggelengkan kepalaku. Sebelum aku mengucapkan sesuatu, Papa sudah menarikku masuk ke dalam rumah. Aku masih dapat melihat Mungga tersenyum dengan anggukannya. Sebuah senyuman mengandung banyak kepiluan.

Papa menghempaskanku di sofa ruang keluarga. Dapat aku lihat sorot mata mengisyaratkan kemarahan. Dengan sebisa mungkin, aku menghentikan tangisanku.

"Papa gak suka liat kamu deketin Mungga!"

Aku berdiri dan mendekati Papa. Aku menatap Papa dengan tatapan tenang tanpa adanya emosi. Hatiku merangkai kata kata yang ingin aku ungkapkan.

Complicated✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang