21.) Dua Puluh Satu

1.1K 102 23
                                    

Nk Pov.

Tak ada yang spesial selama seminggu di tahun pembelajaran baru. Semua berjalan sangat datar. Bukan hanya datar, namun bagiku juga menyakitkan. Aku harus menghilang dari kehidupan orang yang aku cinta. Ini semua demi kebahagiaan Papa.

Disinilah aku sekarang. Di sebuah kafe pusat kota. Aku duduk menghadap jendela yang langsung menghadap ke arah luar yang sedang hujan. Kembali terlintas bayangan masa masa aku bersama Mungga di bawah hujan.

"Hem, air mata aku udah kering kali yak sampai sampai mau nangis lagi aja gak bisa." Gumamku.

"Hai."

Aku mendongak. Aku tersenyum saat melihat siapa orang itu. Rafi, kapten tim basket di sekolah baruku. Meskipun aku baru masuk seminggu, namun aku langsung mengetahui siapa itu Rafi. Maklumlah, banyak cewek cewek yang ngomongin dia.

"Sendirian?"

"Iya, eh kenalin. Gue Rafi, anak IPA 3." Ucapnya memperkenalkan diri.

"Gue Nk, IPA 1."

"Anak baru kan ya?"

"Iya, eh lupa. Duduk Raf."

Rafi duduk di kursi yang berhadapan denganku. Kalau boleh jujur, Rafi itu ganteng, cool, dan ya kalian tau lah. Anak basket pasti keren dan kece badai (Alay😪).

"Kok Sendirian? Gak ngajak cewek lo jalan?"

Rafi tertawa, namun hanya tertawa pelan. Aku kembali mengingat Mungga saat tertawa padahal tak ada hal lucu. Kini pun Rafi tertawa padahal tak ada hal yang perlu ditertawakan.

"Kok ketawa?"

"Lagian lo bilang gitu. Gue jomblo kali (nam). Jadi ya gini, jalan sendirian."

"What? Cowok sekeren, sekece, dan seganteng lo jomblo?"

"Iya (nam). Em, berarti gue keren, ganteng, kece hm?" Rafi menaik turunkan alisnya.

"Gue gak munafik Raf, gue akuin kok emang lo kece, keren, ganteng."

Suasana menjadi hening. Aku lebih memilih menatap luar jendela. Memperhatikan hujan yang tudah sedikit mereda.

"Lo sendiri gimana? Kok gak sama cowok lo?"

Aku tertawa hambar. Cowok? Bahkan aku bingung dengan status dia. Masih cowokku atau bukan. Secara, aku dengannya tak ada yang mengucapksn kata putus.

"(Nam)." Rafi membuyarkan renunganku. Aku tersenyum padanya yang dibalas senyuman juga.

"Gue udah putus Raf."

"Udah lama?"

"Belum sih. Udah ya, gak usah bahas begituan."

"Maaf kalau gue buat lo sedih."

"Nggak perlu minta maaf, lo gak salah."

Aku menyeruput coffee late yang masih hangat. Aku kembali menikmati pemandangan hujan yang tinggal gerimis saja. Aku merasa tersiksa jauh darinya. Takdir terlalu rumit.

"Lo kesini naik apa (nam)?"

"Gue bawa motor kok Raf. Em, gue pulang dulu ya Raf. Mumpung tinggal gerimis."

Aku pun mengambil tas ku kemudian tersenyum ke Rafi sebelum aku melangkahkan kakiku pergi. Aku menuju parkiran mencari motorku. Setelahnya, memakai helm dan mulai melajukan motorku membelah jalanan yang gerimis.

Motorku berhenti di sebuah rumah yang cukup mewah. Memarkirkan motorku lalu masuk ke dalam. Langsung ku jatuhkan tubuh lelahku ke kasur yang sudah ku tempati selama seminggu ini.

Complicated✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang