Bagian Satu

32.5K 1K 10
                                    

Memasuki lobby yang memisahkan antara gedung MIPA yang baru dan lama, Alethea tak mengalihkan pandangannya dari pintu keluar tempat cahaya matahari bersarang. Baru saja ia menjajakkan satu langkah keluar dari gedung baru, getaran tanpa henti di sakunya membuat gadis itu menaikkan satu alis. Well, gedung baru MIPA di universitasnya ini memang megah dan modern. Tapi soal sinyal malah menyedihkan. Bukan hanya soal update status ataupun berselancar di dunia maya. Tapi soal mencari informasi lewat internet demi kepentingan perkuliahan juga malah jadi susah.

Baru saja alis Alethea turun, sedetik kemudian harus naik lagi. Getaran barusan adalah getaran dari hapenya yang menandakan notifikasi panggilan dan chat WhatsApp dari wanita nomor satu di hidupnya. Sang bunda. Kok tumben maksa banget mau telfon? Biasanya juga nunggu berhari-hari. Itupun hanya sebuah pesan WhatsApp yang menanyakan apakah Alethea dalam keadaan baik-baik saja di kota perantauan. Apakah sedang ada masalah di rumah?

"Sholat, Al."

Alethea mendongak dan mendapati seorang laki-laki berkacamata sedang menatapnya sambil membenarkan jaket hitam yang ia kenakan. Ah iya, Alethea harus segera menunaikan ibadah sholat dzuhur kalau tidak ingin terlambat masuk kelas.

Setelah mengangguk, Alethea berjalan di samping laki-laki tadi sambil mengetik pesan pada bundanya.

Ale : Jam 4 nanti aku telfon, Bun. Masih ada kelas soalnya

"Al, mau tugas kalkulus dong," ujar laki-laki di samping Alethea tadi.

"Hemm? Gue juga belum, Sal. Lo lupa gue selalu ngerjain h-1?"

"Yah... Allin juga belum?"

Tugas allin? "Oh! Tinggal nomer terakhir susah banget. Gue mau minta ke Ridwan, katanya dia udah."

"Nah, kalau lo udah, bagi ke gue. Yak?" Terlihat wajah sumringah dari laki-laki itu ketika meminta penuh harap pada Alethea.

"Iya, ntar ingetin gue."

Dan begitu saja mereka berpisah. Alethea menuju pintu masuk putri dan laki-laki tadi menuju pintu masuk putra. Sepuluh menit kemudian, Alethea sudah kembali melewati pintu dan segera duduk di lantai musholla untuk memakai sepatu. Tak ia sangka, laki-laki tadi ternyata juga baru selesai.

"Di ruangan mana, ya?" tanya laki-laki itu saat mereka menuju gedung lama.

"Dua empat. Gue mau jajan dulu deh. Laper nih." Alethea langsung berbelok menuju sebuah gazebo di tengah-tengah taman terbuka di samping gedung dekat musholla. Di sana tersebar beberapa kotak berisi kue dan beberapa celengan di samping kotak sebagai tempat uang. Mahasiswa menyebutnya kotak danus yang merupakan singkatan dari dana usaha.

Beberapa kotak akan tertulis nama kegiatan yang sedang menggalang dana dan daftar harga kue di dalam kotak. Meskipun berjualan di gazebo tergolong beresiko karena tidak dijaga dan murni dari hasil kejujuran tiap pembeli, tapi selalu banyak yang berjualan di sana.

"Bayarin gue dong, Al." Suara itu lagi. Laki-laki tadi masih bersamanya ternyata.

"Ambil aja," kata Alethea singkat.

"Serius nih?" Sepasang mata yang terhalang kacamata itu mau tak mau membelalak dengan pancaran kebahagiaan.

"Iyaa... Ambil aja sebelum gue berubah pikiran nih."

Tanpa berpikir panjang lagi, laki-laki tadi langsung mengambil satu gorengan tahu yang terkenal enak dan berterima kasih pada Alethea. "Makasih, ya Al. baik deh lo."

"Iyaa."

Tanpa lupa membayar makanan temannya yang satu itu, Alethea langsung menuju ruang kelas tujuan mereka. Mata kuliah selanjutnya cukup memusingkan bagi Alethea. Tapi memang keinginannya sudah bulat. Ia sendiri yang memilih untuk kuliah di jurusan Matematika murni, menentang keinginan kedua orang tuanya yang mengharapkan dirinya menjadi dokter atau guru Bahasa Inggris. Gimana mau jadi dokter kalau satupun materi biologi dari SD sampai SMA tidak ada yang nyangkut di otaknya selain materi reproduksi? Bagaimana mau jadi guru Bahasa Inggris kalau menerangkan soal kepada temannya saja tidak ada yang mengerti? Awalnya Alethea ingin berkuliah di jurusan informatika, mengikuti jejak papi dan abangnya. Tapi ia hanya ingin berkuliah informatika di institut teknologi paling mentereng di Indonesia. Dan mengerti akan kemampuannya, Alethea memilih untuk beralih haluan yang tak begitu melenceng jauh. Matematika.

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang