Bagian Dua Puluh Tujuh

6K 406 0
                                    

Hari ini adalah hari terakhir kontrak Adam untuk membantu rumah sakit papanya di Surabaya. Tapi ia masih memiliki tiga hari lagi sampai harus kembali ke Jakarta. Rasanya ia tak ingin kembali. Ia ingin tinggal lebih lama agar bisa bertemu dengan Alethea.

"Kasian pasien lo kalau di sini terus."

Adam mengangguk mengiyakan. Memang benar. Tidak mungkin terus-terusan meminta dokter pengganti untuk menggantikannya. Tapi menahan diri untuk tidak berdekatan dengan Alethea sangat menyiksa!

"Udah setaun ini, Bro!" Laki-laki di hadapan Adam kembali bersuara. Sepertinya dia sudah kesal dengan uring-uringannya temannya yang satu itu. "Lo culik aja deh! Hamilin, terus nikahin. Beres!"

Terkadang Adam sendiri heran bagaimana ia bisa memutuskan untuk mempertahankan orang di hadapannya ini sebagai teman. "Hamilin kepala lo!"

"Daripada lo uring-uringan terus begini?"

"Nggak ada cara lain apa?"

"Ya itu kalau gue. Sebodo amat! Liat aja buktinya." Tanpa ragu laki-laki di hadapan Adam merentangkan kedua tangannya dengan bangga. "Goda-goda dikit, kasih alcohol, terus..."

"Nggak mungkin lah, bego!" maki Adam lagi. Dengan cepat ia menggeleng dan mengusir pemikiran itu dari kepalanya. "Mana mungkin Ale mau digodain? Mau dicium artis dikit aja nolak."

"Ya kalo nggak bisa cara halus, cara kasar berarti! Culik aja udah."

"Bisa gila gue kalau curhat sama lo terus!" Adam segera bangkit dari duduknya dan pergi dari café itu. Memang, cara itu berhasil untuk laki-laki tadi. Sekarang juga istrinya jatuh cinta setengah mati dengan laki-laki itu. Tapi melakukan hal yang sama pada Alethea malah akan menimbulkan sakit. Perempuan itu berbeda. Adam akan sangat membenci dirinya kalau sampai menyakiti Alethea lagi.

"Nggak tau lah, Mi. Pusing aku mikirin Ale. Dulu dijodohin nggak ada yang mau. Sekarang pasti susah cari cowok yang mau sama dia."

Kegiatan mengunyah Adam hampir terhenti ketika mendengar suara laki-laki yang ia kenali. Farel. Apakah kakak Alethea itu sedang berada di restoran yang sama dengannya? Dan tadi apa yang sedang dibicarakan?

"Dicariin aja. Siapa tahu ada temen kamu yang bisa cocok." Itu pasti suara istrinya. "Adam itu kayaknya masih single kok."

"Ya emang dia masih mau? Ale juga nggak ikut ke rumahnya kan waktu itu?"

Lalu tidak ada tanggapan lagi.

Bersyukur Adam tadi masih lapar dan memutuskan untuk ke tempat makan padang ini. Jadi keluarga Alethea masih mencarikan jodoh untuk perempuan itu, ya?

...........

"Hai, Al," sapa Adam ketika bertemu dengan Alethea di depan ruangan papinya.

"Oh, hi." Alethea membatalkan niatnya untuk masuk ke ruangan papi.

"Nggak pulang? Udah hampir jam tujuh loh. Aku anterin boleh kok."

"No, thanks. Nanti malam saya tidur di sini sekalian jagain papi."

"Sendirian aja?"

"Nggak kok. Sama Kak Lona juga. Mas Adam udah mau pulang?"

"Iya. Aku pikir tadi mau ajakin kamu cari makan di luar. Tapi kayaknya kamu udah beli duluan." Adam menunjuk ke arah bungkusan yang Alethea bawa di tangan kiri perempuan itu.

"Iya barusan beli nasi goreng di bawah. Kata kak Lona enak. Biasanya mas Andra juga beli di sana."

"I see. Lumayan terkenal juga itu nasi gorengnya."

"Mmm mas Adam pindah praktik di Surabaya? Atau..."

"Nggak kok. Aku ada kontrak gitu sama rumah sakit. Kebetulan kemarin saudara dari mama ada yg menikah, jadi lumayan lama di sini."

"Oh..."

BRAK!

Suara gaduh dari arah pintu membuat keduanya menoleh. Terlihat Wilona berwajah terkejut menoleh ke arahnya. "Papi sadar, Al!"

Tanpa memperdulikan keberadaan Adam lagi, Alethea segera masuk ke ruangan papi dan melihat keadaannya.

Adam sendiri langsung memanggil dokter jaga karena dokter yang menangani papi Alethea langsung sudah pulang. Ketika kembali ke ruangan, ia bisa melihat Alethea menyerahkan papi pada dokter. Alih-alih menjauh, perempuan itu terima saja ketika Adam mendekat dan merangkulnya. Perempuan itu terlalu fokus pada keadaan orang tuanya.

Di ujung ruangan, suami Wilona sedang menelfon keluarga yang lain untuk memberi kabar. Sedangkan Wilona masih menggendong anaknya yang mulai tertidur.

Setelah penjelasan singkat, akhirnya dokter itu keluar bersama dua orang suster. Pemeriksaannya cukup cepat dan Adam merasa bangga dengan kinerja mereka.

"Papi kamu nggak pa-pa," bisik Adam menenangkan. Tangannya mengusap pelan lengan Alethea yang tertutup jaket denim pudar. Ia bisa merasakan Alethea menjauh dan mendekat pada papi.

"Pi, ini Tara."

Alethea tidak menangis tapi suaranya cukup bergetar bahkan sampai terdengar oleh Adam. Interaksi antara orang tua dan anak itu membuat Adam terenyuh. Bagaimana dinginnya Alethea selama ini, perempuan itu sangat menyayangi orang tuanya. Hal itu terlihat jelas di adegan di hadapannya.

Reaksi yang diberikan papi Alethea luar biasa. Dengan cepat pria itu menunjukkan kemajuan dan bahkan bisa berbicara dalam waktu secepat itu.

Sekitar tiga menit kemudian, Adam bisa mendengar suara pintu terbuka dan beberapa orang muncul dari baliknya. Bunda, Farel, dan Shifa yang menggendong Shasha. Mereka semua terlihat khawatir namun tersirat guratan kebahagiaan. Keluarga yang sempurna dan saling menyayangi.

Begitu sisa keluarganya datang, Alethea memutuskan untuk mundur. Bukan hanya menjauh, tapi Alethea juga keluar dari ruangan. Mengambil inisiatif, Adam mengikutinya. Alethea melewati lorong ruang VVIP hingga ke ujung dan keluar di balkon.

Hari sudah malam. Apa yang perempuan itu lakukan? Apa dia tidak sadar kalau di luar itu anginnya sedang kencang?

Alethea hanya diam di sana. Memandang nyalang ke arah pemandangan sempit di hadapannya.

"Al?" Adam mendekat dan melihat Alethea menoleh.

"Mas Adam belum pulang?" Alethea terlihat terkejut dengan kehadiran laki-laki itu. Mata Alethea berkaca-kaca tapi perempuan itu belum sempat menahannya hingga terlalu banyak.

"No, aku di sini," kata Adam dengan tenang. Ia berdiri di samping Alethea.

"It's okay if you wanna go home. Besok udah balik ke Jakarta, kan?"

"No, Al. Aku di sini."

----------

07/22/2018

edited : 09/22/2020

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang