Bagian Dua Puluh Sembilan

6.5K 435 7
                                    

"Al, siniin laptop kamu. Nanti jatuh," Adam mengambil alih laptop di tangan Alethea. Pasti perempuan itu tidak mau masuk sebelum tau apa yang terjadi di dalam.

Tapi sepertinya ia harus menghadapi kenyataan. Shifa menoleh dan menyadari keberadaan mereka. Dengan cepat Shifa mendekat dan mengatakan kalau papi ingin berbicara pada putri bungsunya.

Ruangan yang Alethea pilih untuk papi cukup luas untuk menampung mereka semua, termasuk seorang dokter dan suster yang masih bertahan di sana. Demi menghormati keluarga, Adam bertahan di ujung ruangan dekat pintu. Bisa ia lihat interaksi antara papi dan Alethea. Samar-samar bisa ia dengar percakapan mereka.

".....Papi nggak tahu sampai kapan. Apa kamu sanggup kalau menikah besok?"

What?!

Ruangan hening. Alethea terpaku dan terpejam. Bunda terlihat menahan isakan. Farel dan istrinya saling menggenggam tangan satu sama lain dan menegang.

Satu anggukan dari Alethea disertai dengan tetesan air mata pertamanya membuat Adam membelalak. Oh God... Dengan siapa???

"Ehmm....." Adam membuka suara dan memberanikan diri untuk mengambil langkah, "Kalau diizinkan, Adam mau minta restu papi sama bunda untuk menikahi Alethea."

Alethea membuka matanya dan menatap Adam dengan keterkejutan luar biasa bersama sisa anggota keluarganya yang lain.

"Nak Adam, jangan memaksakan diri kamu untuk putri kami. Kami tahu sekarang kondisinya begini..."

"Nggak, bunda," Dengan berani Adam menyela. "Ini bukan tentang Ale aja. Tapi tentang Adam juga. Adam cinta sama Ale."

Kali ini papi kembali buka suara, "Menikah itu untuk seumur hidup, Nak Adam. Apa keputusan kamu yang mendadak ini bisa kami percaya?"

Adam memilih untuk menatap Alethea, tepat di mata perempuan itu. Tanpa ia ketahui, detak jantung Alethea berpacu hinga perempuan itu merasakan sekelilingnya pudar dan tersisa mereka berdua. Dengan mantap Adam berkata, "Keputusan ini nggak mendadak, Pi. Adam memang berencana untuk mendekati putri papi, untuk menjadikannya pasangan hidup Adam. Meskipun Ale harus ke Yunani demi mimpinya, Adam nggak berubah pikiran sedikitpun."

"Al, kamu gimana?"

Suara lembut bunda menyadarkan Alethea dan membuat perempuan itu menoleh. "Ale siap, bunda."

"Alhamdulillah..."

Suara kelegaan itu datang dari bunda dan Shifa. Sementara papi dan Farel hanya menatap Alethea dan Adam bergantian dengan pandangan yang tidak dapat diartikan.

"Ale keluar dulu," ucap Alethea kemudian. Ia menarik tangan Adam dan membawa laki-laki itu ke balkon rumah sakit.

Awalnya hening. Alethea melepaskan Adam dan menatap ke arah jalanan dalam diam diikuti Adam. Adam sendiri mengerti keadaan Alethea yang pasti kacau sekarang.

"Kalau kamu berpikir soal pekerjaan kamu, aku bisa ikut kamu kok," kata Adam memecah keheningan.

Tapi Alethea menggeleng. "Saya akan resign hari ini juga."

"Al? Kamu yakin? Itu mimpi kamu, kan?"

"It came true. I'll be fine."

"Kenapa nggak pindah ke Jakarta lagi aja?"

"Mas," Alethea memutar badannya menghadap Adam dengan gemas. "Kamu tau yang kamu omongin, kan?"

"Sure! Aku nggak yakin kamu bakalan betah di rumah terus, Al. Kamu terbiasa kerja dan tiba-tiba berhenti? Nanti mungkin kamu bosan, Al."

Ya, itu juga Alethea tau. "I.... I'll think another way out. Yang jelas saya nggak bisa stay di perusahaan terus kalau saya mau menikah. Saya nggak akan bisa mengurus kamu nanti."

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang