Alethea adalah seorang tante yang baik hati, begitu kata keponakan-keponakannya. Baik keponakannya sendiri maupun keponakan Adam, tidak ada yang Alethea pandang sebelah mata. Buktinya sekarang, Alethea sedang berada di mall. Ia menuju ke arah supermarket untuk membeli persediaan snack juga makanan lain untuk tiga bocah yang akan meramaikan apartemen Adam besok.
"Hai."
Alethea menoleh dan melihat laki-laki yang sedang berusaha mengatur nafasnya sambil menatap Alethea. Setelah memastikan kalau pandangannya benar, Alethea akhirnya membalas sapaan laki-laki itu, "Oh, hi! How ar..."
Belum sempat Alethea menyelesaikan kalimatnya, laki-laki itu sudah membawa Alethea ke dalam pelukannya. Begitu erat hingga Alethea memberontak meminta dilepaskan.
"I miss you," ucap laki-laki itu. Pandangannya sendu menatap Alethea.
"Well, you see me now." Alethea mengedikkan bahunya enteng. "Sendirian aja, Mas?"
"Kamu beneran udah married?" Steffan bahkan tidak repot menjawab pertanyaan Alethea. Ia harus mendengarnya sendiri dari perempuan di hadapannya.
Dengan tersenyum miring, Alethea mengangkat tangannya, membuat pandangan Steffan langsung jatuh pada satu-satunya cincin yang laki-laki itu lihat melingkar di jari manis Alethea. Sebuah cincin platinum dengan mata berlian berwarna putih dan biru berjejer cantik di atasnya. Tanpa bisa Steffan lihat, di bagian dalam cincin itu juga terukir nama Adam dan Alethea. Ah, cincin itu mungkin lebih sederhana dari yang pernah Steffan tunjukkan padanya, tapi cincin itu akan melingkar di jari manis Alethea selamanya.
Melihat reaksi laki-laki di hadapannya, Alethea kembali menurunkan tangannya dan teringat sesuatu. "Anyway," Tangannya merogoh tas hitam yang ia bawa hari itu lalu mengeluarkan sebuah amplop silver dan menyerahkannya pada Steffan. "Bukan untuk bikin kamu sakit hati. Tapi aku akan senang kalau kamu datang."
Steffan tersenyum kecut ketika undangan resepsi itu sampai di tangannya. "Kamu tau aku nggak bisa, Al."
"It's okay then. tadi aku memang berencana kirim ke alamat kamu sekalian sama yang lain. Tapi ternyata malah ketemu kamu di sini."
"Aku mau pergi jauh, Al."
"Where to?"
"Mungkin nyusulin mama ke Amerika. Kemana pun asal aku nggak ketemu kamu lagi. Aku nggak bisa, Al. Lihat foto kamu dengan dokter itu di Instagram dia aja udah sakit banget."
Alethea hanya diam, tak berusaha menanggapi. Ia tau perasaan laki-laki ini, tapi berulang kali juga ia telah mengatakan kalau ia tidak bisa membalasnya.
"Aku harap dia jagain kamu baik-baik. Your happiness is true, I can see it."
Is it really that obvious?
"Can I have my last hug? Just a friendly hug, I promise."
Well, he promised. Better keep it, because he knows exactly what's gonna happen if he doesn't.
Setelah berpisah dengan Steffan, Alethea melanjutkan langkahnya menuju supermarket. Hingga troli belanjanya hampir penuh, barulah Alethea ikut mengantre di salah satu kasir.
Getaran hape di saku belakangnya membuat Alethea menunduk. Segera ia tarik hapenya dari dalam saku dan menekan tombol hijau. "Iya, Mas?"
"Kamu di mana?"
Tumben sekali Adam bernada dingin seperti itu. "Di transmart. Tadi kan udah bilang."
"Masih lama?"
"Udah mau bayar kok. Kenapa?"
"Aku jemput sekarang. Tunggu di situ." Klik!
Kenapa sih orang satu! Aneh banget!
KAMU SEDANG MEMBACA
Impulse (editing)
Romance(MATURE CONTENT!! PLEASE CHOOSE YOUR STORY CAREFULLY) Bagaimana jika hal yang selama ini kamu hindari adalah sumber kebahagiaan orang tuamu? Selama ini Alethea berpikir mimpinya akan membawa kebahagiaan juga kebanggan bagi orang tuanya. Ia tidak sep...