Bagian Empat Puluh

7.2K 431 8
                                    

Samar-samar Adam melihat langit-langit kamarnya ketika matanya terbuka. Sudah pagi lagi. Perlahan ia mengerjapkan mata dan menangkap keberadaan Alethea di depan lemarinya yang terbuka. Dalam diam ia perhatikan istrinya yang hanya terdiam sambil mengelus perut buncitnya.

Di tengah bulan ketiga kehamilan, Alethea pernah bertanya pada Adam kalau-kalau istrinya itu terlihat semakin gendut. Bagi Adam, Alethea selalu terlihat cantik dan sempurna. Wajah glowing ketika hamil ternyata memang benar adanya. Alethea adalah buktinya.

Adam melihat Alethea berbalik dan menatapnya datar. Alethea menghampirinya lalu menempelkan punggung tangan di dahi dan lehernya. "Panasnya udah turun. Sholat dulu, Mas. Keburu habis waktu subuhnya."

Menurut, Adam bangkit dan menuju kamar mandi untuk wudhu. Setelah sholat subuh berjamaah, Adam menahan Alethea yang lagi-lagi ingin keluar kamar.

"Di sini dulu. Kamu belum dengar penjelasanku." Adam menarik Alethea agar duduk di kasur dan bersandar di headboard bersamanya.

"Aku udah tau," kata Alethea akhirnya. "Perempuan itu samperin aku terus bilang kalau Sekar yang bayar dia."

"Tuh kan udah tahu. Kenapa masih marah? Jutek gitu mukanya," Adam menyentuh dagu Alethea tapi dengan cepat ditolak Alethea.

"Aku ada salah apa sama kamu, Sayang? Aku minta maaf...." Masih belum menyerah, Adam semakin merapatkan tubuhnya pada Alethea dan mencegah istrinya bergerak menjauh. Alhasil, tubuh mereka berdempetan dan Adam bisa merangkul pinggang Alethea dengan mudah. Tangan Adam mengelus perut Alethea dan meletakkan dagu di puncak kepala istrinya.

"Harusnya waktu itu aku langsung pulang. Tapi Tio maksa banget, bahkan kunci mobil langsung dirampas sama dia. Aku bener-bener nggak tahu minuman itu ada biusnya dan bangun-bangun aku udah lihat mama ngamuk dan pukul-pukul aku pakai tasnya. Aku lihat kamu pergi tapi aku nggak bisa kejar kamu. Bahkan aku sampai di lobby kamu udah hilang gitu aja. Mama ngamuk luar biasa sampai nangis. Waktu aku jelasin semuanya mama malah pukul aku lagi. Katanya aku bodoh banget. Mungkin aku memang bodoh. Udah nggak bisa mikir apa-apa lagi selain kamu waktu itu. Aku langsung pulang tapi kamu nggak ada. Baju kamu utuh, laptop kamu masih di kamar, bahkan kaus kaki kamu nggak tersentuh.

"Aku udah kemana-mana, Al. Aku hubungi kamu lewat apapun yang aku bisa. Aku coba tanya orang tua kamu, aku pikir kamu pulang. Tapi semuanya nggak ada. Rendy bahkan sampai gebukin aku waktu dia pulang tapi nggak sama sekali mau kasih tau kamu di mana. Aku nggak tau lagi harus gimana selain terus hubungin kamu, tapi hape kamu bahkan nggak aktif. Nggak sekalipun. Aku takut, Al. Aku takut kamu kenapa-kenapa. Aku takut anak kita kenapa-kenapa. Aku takut kamu menyesal menikah denganku."

Adam masih menolak melepaskan Alethea ketika perempuan itu mendongak dan menatapnya. Tangan Alethea naik, menyisir rambut Adam yang jatuh di dahinya.

"I need you here," Adam kembali membuka suara. Mata Alethea yang sempat terfokus pada rambutnya kini kembali menatap matanya. "Jangan pergi lagi. Aku bisa gila nanti. Lebih baik kamu marah-marah kaya Mama kemarin daripada langsung pergi gitu aja."

"Kalau kamu tahu minuman itu ada biusnya dan kamu masih minum, awas aja!" ancam Alethea dengan tatapan tajam pada suaminya.

"Aku nggak sebodoh itu, Sayang. Maaf, ya..."

"Kamu nggak salah. Kamu dijebak."

"Tapi harusnya aku pulang...."

"Teman kamu yang brengsek. Kamu udah berbaik hati nurutin dia, malah dia bikin kamu kayak gini."

Ah, Alethea-nya.... Adam tak bisa menahan diri untuk tidak melingkupi tubuh Alethea dengan pelukannya. Ciuman panjang kembali mendarat, kali ini di pelipis Alethea. Suaminya suka sekali spot itu untuk menciumnya.

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang