Bagian Tiga Puluh Sembilan

6.2K 388 0
                                    

Adam kembali menghela napas dan menjauhkan hapenya dari telinga ketika ia mendengar suara yang sama sejak lebih dari ratusan missed call sebelumnya. Semua sudah ia coba. Telfon, sms, WhatsApp, e-mail, dan semuanya. Tapi tidak satupun dari kesemuanya aktif. Alethea bahkan tidak mengambil barangnya di rumah. Ia menghilang begitu saja. Adam sudah mencoba ke apartemennya yang dulu, ke rumah Rista, bahkan ke apartemen Rendy. Tapi semuanya nihil. Ia sempat mencurigai Rendy karena laki-laki itu ikut hilang, tapi Adam juga tidak bisa menebak mereka kemana. Keluarga di Surabaya juga tidak ada yang tahu.

Sudah empat hari dan Adam ingin menangis rasanya. Bukan berarti sebelumnya ia belum pernah menangis. Bodoh sekali ia malam itu mau saja menerima tawaran temannya yang ternyata bersekongkol dengan Sekar. Sekar sendiri sudah pergi jauh sekali, kata mamanya. Perempuan itu tidak berani menemui Adam. Memang seharusnya seperti itu. Atau Adam sendiri yang akan berurusan dengannya.

Tapi di mana Alethea????

Adam tidak akan bisa tenang sebelum perempuan itu kembali ke pelukannya. Alethea harus mendengar penjelasannya.

Hari ketika Rendy kembali, sudah seminggu berlalu. Dan Adam langsung mencegah laki-laki itu sampai ke apartemennya. Tapi sayang, yang ia terima bukan keberadaan Alethea malah bogem mentah dari laki-laki itu.

Mencoba membenarkan juga percuma. Rendy tidak mau mendengar. Tidak satupun kata mau laki-laki itu dengarkan.

"You know the worst part about this?" kata Rendy akhirnya. Ia membiarkan Adam terduduk sambil memegangi perutnya yang ia tendang begitu saja. "She didn't blame you. She was blaming herself for loving you! And I trusted her for... what? I thought you were a good guy, doctor."

"I am!" sergah Adam cepat. Susah payah ia berdiri dan menghadap Rendy. "Lo salah menilai gue. Gue nggak pernah sekalipun berpikir untuk selingkuh dari istri gue! Gue cinta sama Ale. Gue cuma minta tolong lo kasih tau di mana dia."

"Cih! Nggak lagi gue biarin sahabat gue sendiri berurusan sama laki-laki kaya lo!" Lalu begitu saja Rendy masuk ke unitnya dan meninggalkan Adam.

Aarghh!!

............

"Ya Allah kenapa kamu, Dam? Digebukin siapa?" Mamanya yang masih setia menemani anaknya itu langsung tergopoh-gopoh menghampiri. Ketika akhirnya mengetahui siapa pelaku yang menyebabkan wajah putra sulungnya hancur seperti ini, mama Adam langsung menghela napas.

Sesekali Adam meringis ketika kain kompres itu menyentuh lukanya. Rasanya perih dan sakitnya menjalar ke kepalanya. Ia ingin menemui Alethea nya. Bagaimanapun caranya.

"Sabar, Dam. Kalau sudah waktunya nanti pasti pulang," ujar mama Adam sambil meletakkan kain kompres di baskom. "Istrimu butuh waktu."

Sampai kapan? Apakah Alethea tidak merindukannya? Bagaimana kabar anak mereka? Apakah mereka sudah makan hari ini? Sudahkah mereka makan dengan baik? Apakah sudah sesuai anjuran dokter? Rindunya semakin menjadi ketika ingat bagaimana Alethea selalu berhati-hati soal makanan demi calon bayi mereka.

Mas nggak selingkuh, Sayang. Please come home... I miss you too much... I need you by my side, Sayang. Jangan berhenti mencintaiku, aku mohon...

Adam hanya bisa merosot dan memutar tubuhnya hingga menghadap ke bagian kasur tempat Alethea biasa tidur. Sekarang hanya bantal dan sisi kosong di sana. Alethea biasanya akan mengelus perutnya sambil menemaninya menonton TV. Atau mungkin Alethea akan bermain hape dan meletakkan headphone di perutnya, membiarkan calon bayi mereka mendengarkan lagu-lagu klasik karya composer terkenal. Atau mungkin mereka akan terbaring berhadapan, saling bercerita dan Adam akan melihat tawa Alethea di hadapannya.

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang