Bagian Tiga Puluh Tujuh

7K 461 6
                                    

Acara resepsi yang dilaksanakan di Sheraton Surabaya mengundang banyak orang. Keluarga besar, teman Alethea, teman Adam, juga rekan-rekan orang tua mereka. Awalnya Alethea sempat menolak mengundang sampai lebih dari seribu orang seperti ini. Tapi ia tidak memperhitungkan koneksi Adam yang membludak.

Sehari sebelum resepsi, Alethea sempat gugup setengah mati. Bagaimana tidak? Gaun yang dipesan ternyata tidak muat! Bagian pinggangnya lebih lebar satu inchi dari ketika pengukuran dilakukan. Ia langsung menyesali nafsu makannya akhir-akhir ini yang sulit sekali dikontrol. Adam juga tidak terlihat ada niatan untuk menghentikan tangannya tiap kali memasukkan makanan ke dalam mulut. Untung saja penjahit yang dipanggil Bunda kemudian sudah ahli dan bisa melihat sedikit kain lebih pada bagian zipper. Kelebihannya? Tepat satu inci lebih sedikit. Ia harus bersyukur hari itu. Adam yang tidak tahu menahu malah berpikir kalau Alethea masih sedih karena kebanyakan tamu yang diundang.

Setelah menyempatkan diri berlibur selama dua hari di Surabaya, mereka akhirnya kembali ke Jakarta, kembali ke rutinitas masing-masing. Tapi Alethea merasa ia malas sekali. Bahkan hari itu ia tidak mengambil pekerjaan apa-apa dan menghabiskan seharian di rumah dengan menonton YouTube sambil menghabiskan sisa cemilan kemarin-kemarin.

Menyadari kebiasaan barunya, Alethea langsung bangkit dan menuju kamar. Diangkatnya ujung kaus yang menutupi perut, lalu ia menatap diri di depan cermin panjang.

"Bbffhh.... Beneran gendutan," ujar Alethea pelan sambil mengerutkan hidungnya. Perlahan ia mengelus perutnya sendiri dan memainkan lemak yang tidak terlalu banyak itu sambil terkekeh, "Enak juga dibuat mainan. Hehe..."

"Ngapain, Sayang?" tanya Adam yang tiba-tiba sudah berada di dalam kamar.

Alethea langsung menoleh dan ujung kausnya kembali jatuh. "Udah pulang, Mas?" Segera ia hampiri suaminya lalu mencium tangannya sebelum menerima ciuman di kening dan pipinya.

"Baru aja. laptop kamu masih nyala, toples udah kosong, tapi orangnya nggak ada."

"Kok nggak denger, ya?"

"Kamu ngapain emang?"

"Mmmhh... Ngeliatin perut barusan. Aku tambah gendut deh kayaknya," aku Alethea sambil kembali mengerutkan hidungnya.

"Oh ya? Kayaknya nggak deh. Kayaknya malah makin cantik. Perutnya aja?"

Alethea mengangguk sebelum membiarkan Adam melepas kemejanya sementara ia keluar kamar.

"Sayang? Beneran nggak pa-pa kalau aku tinggal? Aku antar ke rumah Kak Rista aja deh, ya? Aku nggak tenang kalau kamu sendirian."

Alethea bersandar menyamping di sofa, menunggu sampai akhirnya Adam duduk di sofa yang sama dengannya. "Nggak pa-pa, Mas. Dua hari aja, kan? Kamu bayar deh tuh Rendy buat ngawasin aku. Kak Rista juga nggak mungkin banget nampung aku. Pada sibuk semua di rumahnya."

"Beneran?"

"Iyaa," balas Alethea gemas. Udah berapa kali loh!

"Jangan macem-macem lagi."

"He eh. Orangnya udah pergi jauh."

Tak lagi ingin berbicara, Adam menarik Alethea ke dalam pelukannya. Pertama kalinya ia akan pergi jauh tanpa perempuan ini. Rasanya ingin langsung menekan tombol skip dan tak harus mengalaminya.

.................

Adam tak mengizinkan Alethea mengantar sampai bandara. Alasannya? Ya nggak pengen aja Alethea jadi repot. So, Alethea hanya mengantar sampai lobby sampai sopir yang menjemput Adam akhirnya datang. Ketika kembali ke unit, Alethea lagi-lagi hanya menonton YouTube. Tapi kali ini ia tidak lagi memasukkan berbagai cemilan ke mulutnya karena ia sudah bosan.

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang