Bagian Lima

8.7K 540 1
                                    

Kali ini doa Alethea dikabulkan kembali. Ia diterima di Melbourne. Univeristas impian masa kecilnya. Dan ia sangat berbangga akan hal itu. Lagi, dalam dua tahun masa studinya, Alethea hanya bisa pulang sekali. Itu pun untuk menghadiri pernikahan Farel. Ia terlalu sibuk mengambil beberapa pekerjaan dan join project bersama profesor sehingga pulang bukan lagi prioritasnya. Hingga sekali orang tuanya pernah memutuskan untuk menyusul Alethea ke Melbourne bersama Rista. Dan setelah itu orang tuanya percaya kalau Alethea memang benar-benar serius menjalani kuliah magisternya. Bahkan mereka sempat bertemu dengan profesor pembimbing Alethea dan Rista memberitahu hasil perbincangannya. Alethea tergolong mahasiswa yang memiliki semangat tinggi dan berpotensial untuk menjadi sukses. Meskipun bukan tergolong mahasiswa yang brilian dan luar biasa, tapi Alethea tidak bisa diremehkan juga. Butuh lebih dari batalyon perang untuk mematahkan semangat dan rasa ingin tahunya.

Tapi Alethea berubah. Well, tidak di depan orang tuanya, itu yang pasti. Tapi di depan orang lain, orang baru. Sikap Alethea begitu profesional sehingga ketika ia lulus dan melamar pekerjaan di Jakarta, bapak-bapak pemegang jabatan CEO itu langsung menerimanya. Tapi, sayang, passionnya bukan di bidang multimedia saja. Ia ingin berada di bagian teknisi. Maka setelah genap satu tahun, Alethea memutuskan untuk resign dan mencari pekerjaan di perusahaan lain. Hanya dalam dua bulan, perusahaan yang menggeluti bidang elektronik itu terlihat menggiurkan di matanya. Dan tentu saja lagi-lagi Alethea menjadi target pengawasan mata tajam pemiliknya. Tanpa berlama-lama di sesi wawancara, sang ekskutif muda langsung dengan mudah mempercayainya menjadi teknisi. Perempuan itu begitu profesional, begitu sulit dibaca. Dan jangan lupakan track recordnya selama menjadi teknisi. Alethea sanggup memegang tanggung jawab lebih. Setelah satu tahun menjadi teknisi, pangkatnya naik menjadi analyst junior di bawah pengawasan Dion, seniornya. Dan Dion pun setuju dengan gambaran yang Ramond berikan padanya. Benar-benar dingin dan kaku.

..............

"Hai," sapa Rendy saat break makan siang hari itu.

"Hai," balas Alethea dengan senyuman singkat. Kepalanya kembali mengarah ke layar komputer yang menunjukkan rubik berputar-putar.

"Nggak makan lo?" tanya Rendy sambil duduk di tepi meja kerja Alethea.

"Bawa bekal," jawab Alethea singkat. Ia menunjuk pada tas punggung hitamnya sejenak. Lalu tangannya kembali ke keyboard.

Tanpa menunggu persetujuan, Rendy langsung meraih tas Alethea dan mencari bekal makanan yang perempuan itu maksud. Sekotak salad sayur dengan dressing yoghurt. "Kambing lo?"

"Bodo, Ren!"

"Ya mana ada manusia normal makan beginian doang, Ale? Udah lah, ikut gue aja, makan di luar. Mumpung ada Vidy di Jakarta nih. Lo nggak mau ketemu dia?"

"Kemarin udah ketemu. Nanti malem ketemu lagi. Santai aja sih."

"Hhh.... Ya gue tau, Al. Tapi lo tuh harus menikmati hidup lo sekali-sekali."

Dengan keheranan Alethea menghentikan pekerjaannya dan bersandar sambil menatap Rendy. "Jadi menurut lo sekarang ini gue lagi nggak menikmati hidup gue? Ya ampun, Bapak Rendy yang terhormat, saya rasa bapak sudah salah menilai sikap saya. Gue dengan bangga mengatakan kalau gue punya hidup yang amat sangat indah dan bahkan terlalu indah untuk dirubah."

"Apa menurut lo hidup lo ini nggak terlalu flat, Al?"

"Nope," jawab Alethea mantap. "Sangat sangat indah, Rendy," ucapnya sekali lagi sebelum kembali ke layar komputer.

"Yah terserah lo deh. Gue balik kalo gitu. Bye!"

"Hati-hati, Ren," ucap Alethea sebelum Rendy menghilang di balik pintu. Ia tahu ada beberapa pasang mata yang mengawasinya.

Bagaimana tidak? Selama ini Alethea tak pernah tersenyum ataupun tertawa di luar batas profesionalitas. Selalu hanya senyuman ramah dan tawa kecil yang keluar dari bibirnya. Tapi ketika ada makhluk bernama Rendy tadi, Alethea bisa tertawa sampai puas. Well, mereka hanya belum mengenal Alethea dengan baik. Andai mereka tahu betapa mudahnya membuat Alethea tertawa.

"Nggak istirahat, Al?" tanya sebuah suara membuat Alethea mendongak.

Dalam sekejap Alethea langsung bangkit dan menunduk sopan sebelum menjawab, "Saya membawa makanan, Pak."

"Oh, begitu," Ramond manggut-manggut sambil duduk di kursi di hadapan meja Alethea diikuti gadis itu. "Masih mengerjakan proyek dua-lima?"

"Iya, Pak. Tinggal finishing saja. Pukul dua nanti sudah bisa bapak terima laporannya."

"Hmm bagus sekali. Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu bekerja di sini?"

"Lima belas bulan, pak."

"Kamu betah di sini? Nggak ada niatan pindah ke perusahaan tetangga?"

Alis Alethea langsung naik satu mendengar pertanyaan dari Ramond. "Well, saya masih sangat menikmati bekerja di perusahaan bapak. Dan saya tidak begitu tertarik menukarkan posisi saya di sini dengan kembali menjadi teknisi di sana."

"Begitu, ya? Baik, kalau begitu. Jam empat nanti datang ke ruangan saya. Ada yang perlu saya bicarakan empat mata dengan kamu."

"Baik, pak."

Meski harus deg-degan karena tidak tahu menahu alasan dibalik pemanggilannya, tapi Alethea tetap menuruti perintah bos-nya. Bos besar, men!

Tapi sepertinya bukan hal yang buruk. Begitu masuk dan duduk di hadapan bosnya, Alethea langsung disuguhi beberapa berkas yang sudah tak lagi asing baginya. Proyek. Miliknya.

"Saya harap kamu sedang tidak memikirkan libur dalam waktu dekat ini," kata Ramond membuka percakapan sambil mendorong dua map coklat yang terlihat tebal.

Dengan senyuman, Alethea menggeleng. "Saya belum memikirkan hal itu untuk waktu dekat, pak."

"Bagus. Saya memilih kamu untuk memimpin dua proyek itu. Di dalam setiap map sudah saya masukkan nama-nama orang yang akan bekerja sama dengan kamu, saya harap kamu bisa memanfaatkan mereka dengan sebaik mungkin. Saya mau terima laporan akhir pada pertengahan bulan depan. Silakan kamu pelajari setiap berkas dan kalau ada yang ingin ditanyakan, saya masih di sini."

Satu senyuman profesional dari Alethea dan gadis itu bangkit untuk kembali ke ruangannya. Menuruti perintah bos-nya, Alethea memeriksa dan memulai perhitungannya. Hmm. Satu setengah bulan? Untuk dua proyek macam ini? Apakah tidak berlebihan? Dengan semua sumber daya manusia ini? She's not gonna lead the project, they will. Dia akan merevisi nama-nama itu dan mulai mengerjakan proyeknya.

Akhir bulan ini akan dimulai bulan Ramadhan. Dan Alethea tau bagaimana orang-orang dalam daftar itu akan meminta keringanan ketika bulan Ramadhan datang. So, tanpa membuang waktu lagi, dua proyek yang ia pimpin harus berjalan sesegera mungkin. Untung saja ia tidak salah merevisi. Orang-orang yang ia pilih cukup profesional sehingga di akhir bulan, hari ketiga bulan puasa, Alethea berhasil menyerahkan laporan akhirnya di meja Ramond.

Bisa Alethea lihat dengan jelas aura kebingungan bercampur kagum dari bos besarnya itu. Later did she find out kalau Ramond sengaja mengulur waktu penyelesaian karena menurut Ramond seorang wanita pantas diberikan keringanan. Alethea? Oh, jangan tanyakan apakah dia senang. Alethea benar-benar tersinggung. Stereotype macam itu tidak berlaku baginya. Bagi Alethea, kualitas pekerjaan seseorang tidak bisa ditentukan dari jenis kelamin orang itu.

Kembali ke ruangannya, Alethea membuka laci drawer dan menemukan sebuah pigura berisikan foto keluarganya. Ah, ya. Sudah lama sekali ia tidak pulang. Kemarin bunda menelfon dan menanyakan kabar Alethea. Tentu saja anak bungsu bunda baik-baik saja. Bahkan sedang menikmati kehidupannya di metropolitan yang hectic.

Sebaiknya Alethea menyusun agendanya agar bisa pulang lebih cepat dari rencana awalnya.

----------

06/04/2018

edited : 09/03/2020

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang