Entah menolak keinginan Adam untuk kesekian kali adalah tindakan bodoh atau bukan, Alethea tidak lagi peduli. Ia memutuskan untuk pulang bersama laki-laki yang lebih tua delapan tahun darinya itu, yang waktu itu dilihat Adam di restoran seafood. Sampai di apartemen pun Alethea langsung mandi dan masak. Ia sedang ingin menjauh dari semua hubungan dengan dunia luar dan memilih untuk menonton TV saja.
Pertama, acara komedi lokal yang membuat Alethea dengan sukses tertawa kencang beberapa kali. Kedua, berita local dan internasional yang cukup membuatnya mengernyit keheranan. Bosan, Alethea beralih ke tontonan ketiga, drama polisi luar negeri. Favoritnya? Criminal Minds dan NCIS. kalau sudah menonton kedua drama itu, Alethea tidak akan bisa diganggu. Dan jangan berani mencoba.
Selesai dengan kedua tontonannya, Alethea melihat ke arah jam di hanging shelf di hadapannya dan mendapati waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Hmm. Langsung tidur kah? Atau mengecek e-mail terlebih dahulu? Sebaiknya melihat keadaan hape yang sejak tadi ia silent demi kelancaran malamnya.
Ternyata ada beberapa notifikasi yang masuk. Beberapa dari laki-laki tadi, bunda, Farel, Siska, beberapa rekan kerja, dan yang lain dari nomor tidak dikenal yang sepertinya familier. Satu per satu Alethea membuka pesan tadi dan membalasnya. Tapi dari nomor tidak dikenal itu Alethea sempat ragu sebelum akhirnya benar-benar membukanya.
086523xxxxxx : Ada rencana pulang ke Surabaya?
086523xxxxxx : Bunda mau kita pulang bareng
Meski sempat mengernyit sebentar, akhirnya Alethea mengerti. Pasti Adam. Pesannya berhubungan dengan pesan bunda yang sudah memintanya untuk pulang setidaknya minggu depan.
Alethea : Pesan saja duluan. Saya belum tau kapan bisa pulang
Lalu Alethea meletakkan hapenya di meja depan TV. Sejenak ia meregangkan tubuhya sebelum mencuci muka dan sikat gigi. Tapi sebelum ia berniat langsung menuju kasur, hapenya berdenting, menandakan pesan WhatsApp masuk. Sekali lagi dari nomor tidak dikenal itu.
086523xxxxxx : Aku bisa menunggu sampai kamu siap untuk pulang sama aku
Entah kenapa Alethea merasa aneh dengan pesan itu. Apakah ada yang aneh? Apakah ini salah satu gombalan yang seharusnya ia mengerti? Bodo amatlah. Kalau dia mau menunggu ya silakan.
..........
Kalau saja Bunda tidak memaksa, mungkin Alethea tidak akan berada di pesawat yang sama dengan Adam kemarin. Dan mungkin saja sekarang Alethea tidak akan ke rumah Adam bersama bunda.
Berada di perumahan elite, rumah Adam adalah rumah dua lantai yang terlihat sekali hasil desain arsitek mahal. Bahkan rumah besar itu dilengkapi dengan halaman luas dari depan hingga ke belakang dan mampu menampung lima mobil sekaligus. He's so damn rich!
Mereka disambut oleh mama Adam dan langsung dibawa masuk menuju ruang tamu seluas ruang TV rumah Alethea. Hanya dengan basa-basi tentang anak masing-masing, lalu Alethea menyadari kehadiran Bianca, adik Adam dari ambang pintu.
"Bi, ayo salim dulu. Ada calon kakak kamu nih," kata Mama Adam yang kemudian dituruti oleh anak bungsunya.
"Masuk yuk, Kak. Bang Adam di lagi main game tuh kayaknya." Bianca menatap Alethea yang hanya bisa menatap gadis itu dengan aneh.
"Eh, iya, Al. Itu anak udah dari tadi pagi nggak gerak di depan TV main game terus. Samperin gih," imbuh Mama Adam.
Hfff.... Dengan perlahan Alethea bangkit dan mengikuti Bianca masuk semakin dalam ke rumah Adam. Setelah melewati lorong yang berhiaskan pigura berisi foto seluruh anggota keluarga di seluruh dinding, Alethea menangkap tungkai kaki seorang laki-laki yang sedang duduk berselonjor di sofa menghadap ke arah TV 55 inci. Bahkan TV itu sedang memainkan sebuah film kartun tapi si empunya malah terlalu sibuk dengan layar hape di tangannya. Tambahkan dengan sumbat di telinga Adam yang membuat laki-laki itu semakin fokus. Lebih seperti TV yang menonton Adam, ya?
"Bang," panggil Bianca tanpa mendapat perhatian dari abangnya. Tanpa ragu gadis yang lebih muda enam tahun dari Adam itu mengambil bantal sofa dan menimpuk abangnya dengan sadis.
Jelas Adam dongkol dan berniat membalas adiknya. Tapi niatnya itu ia urungkan ketika melihat Alethea berdiri dengan canggung, memperhatikan tingkah mereka berdua.
"Al?" Adam seakan belum bisa mencerna keadaan, ia malah hanya diam melongo menatap Alethea.
"Diajakin duduk kek! Bengong aja!" Bianca kembali menimpuk Adam dengan bantal sofa, menyadarkan laki-laki itu.
Adam sempat melotot pada Bianca yang langsung kabur menuju tangga. Setelah menghela napas, Adam melepaskan headsetnya dan meletakkannya di meja bersamaan dengan hapenya sambil menyapa Alethea, "Hai, udah lama?"
"Sekitar lima menit yang lalu. Bunda saya lagi ngobrol dengan mama kamu di depan."
"Oh. Come here. Jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri." Adam menggeser duduknya yang sudah berubah sesuai bentuk sofa dan menepuk bagian sofa di sebelahnya.
Alethea tak bisa menyembunyikan kecanggungannya ketika mendekat dan duduk di samping Adam. Terlebih ketika laki-laki itu memutar tubuhnya dan duduk menatap Alethea.
"Mama nggak ngomong macem-macem, kan?" Adam membuka percakapan.
"Nggak kok. Just a casual chit chat between moms," ujar Alethea.
"About us?"
"Yeah. Memangnya mau tentang siapa lagi?"
Tanpa diduga, Adam terkekeh pelan. "Jadi, kapan kita menikah?"
"Kamu kayaknya excited banget soal kita menikah, ya?"
"Sure! Can't wait to spend the rest of my life with you."
Damn! He's just so cheesy! "Nggak cukup waktu buat persiapan. Nggak mungkin bulan depan juga, saya belum mengajukan cuti."
"Anak kesayangan bos besar, ya?" Tebakan Adam tidak sepenuhnya meleset. Hanya saja Dion masih menjadi anak kesayangan nomor satu.
"Memang susah pengajuan cutinya."
Adam hanya menggumam mengiyakan. "Nanti malem jalan-jalan, mau?"
"Udah janji sama temen-temen yang lain. Bukannya besok mau makan malam bareng?"
"Aku maunya berdua aja sama kamu dong, Sayang. Di Jakarta udah susah banget, masa di sini masih susah juga?"
"Kapan-kapan saja. Di Jakarta juga masih bisa."
"Kapan, Al? Kamu selalu udah buat janji sama laki-laki lain. Nando, temen kamu, rekan kerja, atau nggak bapak-bapak kegenitan itu."
Dengan sukses Alethea menaikkan satu alisnya. Bapak-bapak kegenitan? And why is he so pissed? "Siapa bapak-bapak kegenitan yang kamu maksud?"
"Yang kemarin-kemarin nempel terus sama kamu."
Oh that guy! Umur kalian bahkan cuma beda lima tahun! "Steffan maksud kamu?"
"Yeah, whoever he is. Enak banget bilang calon istri. Jelas-jelas orang tua kamu setujunya sama aku. Emang dia pernah datang ke rumah kamu dan melamar kamu langsung?"
"Why are you so angry about him?" Ini jelas-jelas tidak masuk akal. Just take it easy, mate. Lo sendiri udah kepedean dengan persetujuan papi dan bunda. Kenapa malah kesel banget sama bualan Steffan?!
"Sayang, aku cemburu! Kamu pikir aku bakalan diem aja kalau dengar orang lain dengan seenaknya ngakuin kamu sebagai calon istri mereka? There is no way!" Tanpa ragu, Adam meraih tangan Alethea yang bebas dan menggenggamnya hingga membuat Alethea mengernyit. "You are mine."
"Mas?" Alethea hanya bisa mengernyit ketika melihat Adam dengan sepenuh hati mengecup punggung tangannya. What the hell is he doing? What the freak is going on with my stomach???
Alethea semakin mengernyit ketika merasakan perutnya berulah. Bukan, bukan sakit perut atau keroncongan. Tapi seakan ada kepakan sayap di sana dan Alethea merasa kegelian. Shit! What is going on???
"I can wait," kata Adam pelan. Matanya menatap mata Alethea yang masih kebingungan. "Sampai kamu siap untuk hidup sama aku. For the rest of our lives."
Holy shit!
----------
07/10/2018
edited : 09/22/2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Impulse (editing)
Romance(MATURE CONTENT!! PLEASE CHOOSE YOUR STORY CAREFULLY) Bagaimana jika hal yang selama ini kamu hindari adalah sumber kebahagiaan orang tuamu? Selama ini Alethea berpikir mimpinya akan membawa kebahagiaan juga kebanggan bagi orang tuanya. Ia tidak sep...