Bagian Dua

13.6K 733 1
                                    

Dua hari semenjak kuis Matematika Diskrit I itu, Alethea mendapati mualnya semakin menjadi-jadi. Penyebabnya jelas. Ia belum menemui Faisal lagi setelah hari itu. Ia tak lagi dalam kelas yang sama dengan laki-laki itu. Apakah ada orang lain yang mengalami hal yang sama dengannya? Alethea hanya ingin bertemu dengan Faisal lalu mengobrol banyak dengan laki-laki itu. Rindu kah namanya? Kalau hanya sekedar rindu lalu kenapa Alethea harus merasa kecil setiap kali Faisal sedang bercanda seru bersama perempuan lain dan bahkan tidak menghiraukan keberadaannya? Mengapa tiba-tiba chat dari laki-laki itu terasa pantas untuk ditunggu? Terasa menyenangkan ketika mendapatkannya?

Ah, ayolah! Ini gila!

Beberapa temannya mengatakan kalau Alethea sudah jatuh cinta. Tapi Alethea tak pernah mau mengakui siapa sasarannya pada teman sekampus. Bisa bahaya! Ia terlalu rendah diri dan malu untuk mengakuinya. Meskipun Faisal termasuk laki-laki biasa, tapi Alethea masih merasa tidak pantas untuk dikatakan suka atau bahkan jatuh cinta pada laki-laki itu. Bahkan sampai jatuh sakit beberapa kali hanya karena tidak bertemu dalam tiga hari. Alethea menyimpan semuanya dari teman sekampusnya. Yang mereka tahu hanya sebatas Alethea merasa mual dan pusing ketika tak bertemu laki-laki itu dalam beberapa jam atau berhari-hari. Bahkan mereka menyaksikan sendiri Alethea terlihat pucat dan hampir memuntahkan isi perutnya setelah tidak bertemu selama dua hari.

Beberapa berkata jatuh cinta, beberapa berkata rindu, beberapa bahkan berkata dipelet. Hah! Seakan mereka tau bagaimana rasanya dipelet. Bahkan Alethea yakin Faisal sendiri tidak akan menyentuh dukun dan teman-temannya apalagi sampai memelet Alethea. Memangnya Faisal mau melirik Alethea?

"Kalau lo nggak gue anggap adik, udah gue pacarin dari dulu kali lo."

Alethea mendongak mendengar kata-kata Rendy di hadapannya. "Kok gitu?" tanya Alethea bingung.

"Lo tuh kalau lagi nggak suka sama orang ya gitu. Biasa aja. Bodo amat emang. Tapi sekalinya suka, langsung semua semua dikorbanin. Dulu sama Cameron? Berapa coba yang udah lo korbanin? Sama Om itu meskipun lo nggak suka-suka banget tapi sama aja berdedikasi. Apapun yang diminta pasti dikasih sama lo."

"Gue nggak suka sama Faisal."

"Yeah... whatever. Masuk aja deh. Rapatnya mau dimulai tuh."

Alethea menurut. Berjam-jam selanjutnya dihabiskan dengan pembahasan seputar konferensi yang akan mereka adakan. Dari semua yang telah dibahas, ada satu yang menarik perhatian semua panitia. Pertanyaan ketua pelaksana.

"Ale, kamu nggak pa-pa?"

Hah? "Nggak pa-pa, Kak," jawab Alethea dengan heran. "Kenapa?"

"Muka kamu pucet begitu. Kalau sakit istirahat aja."

"Eh? Nggak kok nggak pa-pa, Kak."

Ini juga! Niatnya menjadi panitia bagian DDM (Dekorasi Dokumentasi dan Multimedia) itu karena ia tak ingin tampil di depan layar maupun berhubungan dengan masalah perhumasan. Kenapa malah ditanyain di depan semua panitia dan jadi sorotan begini?

Hufftthhh....

"Kapelnya ngelirik lo tuh," kata Rendy ketika mereka sudah berada di tempat parkir.

"Ya dia punya mata kali, bebas aja," balas Alethea tak peduli.

Setelah satu helaan nafas Rendy kembali bertanya, "Gimana mualnya? Masih?"

"Masih. Cari makan yuk! Siapa tau ilang nih mualnya." Alethea memakai helm merah dari jok belakang motor Rendy dan menunggu pemilik motor itu siap.

"Yang ada gue mau bawa lo ke kosan si Faisal itu, Al."

Plak!

Dengan sukses Alethea memukul helm Rendy dengan telapak tangannya menimbulkan suara aduh dari si empunya. "Kasar banget deh jadi cewek."

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang