Bagian Tiga Puluh Dua

7.4K 445 2
                                    

Kalau saja Adam bisa memilih, ia akan memilih untuk cuti saja hari ini. Tapi perempuan di hadapannya akan ngomel habis-habisan. Lagipula bagaimana mau membantah? Langkah Alethea saja masih aneh, masa iya Adam masih mau memaksakan nafsunya?

"Nanti pulang jam berapa, mas? Mau aku siapin bekalnya juga?" tanya Alethea sambil menutup termos berisikan kopi untuk suaminya.

"Repot banget atuh si eneng. Sini lah duduk sama suaminya."

"Orang Surabaya sok-sokan ngomong Sunda! Ini mau nyiapin bekal kamu. Mau, nggak?"

"Mau dong. Masakan kamu enak, Yang."

Tatapan Alethea yang seakan curiga membuat Adam langsung menambahkan, "Asli, Sayang. Bukan gombalan. Beneran. Udah tau kok dari waktu itu kamu bikin brownies di Surabaya."

"Huh? Brownies apa, mas?" Sambil mengeluarkan kotak bekal bening dari cabinet, Alethea bertanya bingung.

"Itu, kata mama dulu kamu mau bawa buat temen-temen kamu. Mama awalnya nggak bilang. Katanya dari rumah temennya. Eh ternyata dari rumah bunda. Itu juga brownies kamu katanya."

"Oh... Itu yang waktu habis ketemu kamu di restoran, kan?"

"He eh. Enak banget itu. Ada coklatnya juga di dalemnya."

"Mau lagi?"

"Kapan-kapan aja, yang. Habis kerja rodi semaleman. Itu katanya mau ngurusin kerjaan dulu. Diberesin aja. Ntar malah lama jadinya." Hanya telur frittata dari macam bahan yang ada di kulkas Adam tapi Adam seakan menikmati sarapan buatan Alethea pagi itu.

"Snelli sama tas kamu udah aku siapin di sofa. Ini nanti bisa langsung dimakan atau kalau ada microwave di rumah sakit, nanti dipanasin juga lebih enak."

"Bikin tambah pengen di rumah aja," ucap Adam sebelum mengecup pipi istrinya penuh kasih sayang. Piring kotornya ia letakkan di bak cuci lalu ia kembali ke Alethea dan memeluk istrinya erat.

"Itu pasien dipikirin juga! Nanti kamu pulang aku kan di sini, Mas."

"Gila ini. Kamu bikin aku nggak pengen ke rumah sakit."

"Enak banget nyalahin ke aku! Udah sana berangkat. Nanti telat, pasien kamu kasian, mas."

"Wait for me, okay?"

"Iyaa." Mengambil kesempatan Adam melonggarkan pelukannya, Alethea berbalik dan menatap suaminya. "Banyak orang yang nungguin kamu di rumah sakit."

"Yaudah aku berangkat dulu." Adam menerima kecupan di punggung tangannya lalu melanjutkan, "Nanti aku bilang ke bawah kalau ada tamu biar telfon dulu. Kalau kamu ngerasa nggak penting, nggak usah disuruh naik juga nggak pa-pa. Jangan lupa tungguin aku. Kayaknya agak malem ntar."

"Nanti kayaknya mau ketemu sama Vidy sama Rendy. Boleh, nggak?"

"Mau ketemu di mana? Kalau mau di sini aja juga nggak pa-pa. Kalau masih sakit juga nggak usah maksain keluar. Baju kamu belum pada dikeluarin juga."

"Nanti aku bilang deh ke mereka. Aku kasih tau kamu nanti jadi keluar atau nggaknya."

"Okay. Aku berangkat." Adam langsung mengecup pelipis Alethea lama, titik yang telah menjadi favoritnya sejak beberapa jam Alethea menginjakkan kaki di apartemennya. "Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Hati-hati, Mas."

Dengan diantar istrinya, Adam akhirnya berangkat menuju rumah sakit. Sementara Alethea kembali melakukan aktivitasnya. Membersihkan apartemen Adam, masak untuk sarapannya sendiri, mencuci baju, mandi, lalu membuka laptop untuk menyelesaikan sisa-sisa pekerjaan yang masih menjadi tanggung jawabnya.

Ketika denting suara hape yang sudah familiar di telinganya itu berbunyi, Alethea langsung mengambil hape-nya dan membaca pesan dari Rendy. Sepertinya kedua temannya itu ingin mereka bertemu di café saja. Well, sepertinya opera cake di café yang mereka sebutkan itu juga menggiurkan. Sudah lama sekali Alethea tidak menikmatinya.

T-shirt putih, celana jeans pudar, jaket jeans dengan warna senada dengan celananya, kaus kaki dengan motif kucing, sepatu adidas, jam tangan putih, juga tas putih kecil sudah melekat sempurna di tubuh Alethea bahkan tak sampai satu jam setelahnya. Pesannya ke Adam belum juga dibaca oleh laki-laki itu. Tapi setidaknya Alethea sudah memberi tahunya. Hanya menunggu beberapa menit sampai Rendy dan Vidy akhirnya datang untuk menjemputnya.

"Pelan-pelan amat jalan lo," komentar Vidy ketika Alethea akhirnya duduk di jok belakang mobil Rendy.

"Buru-buru amat emang mau ngapain?" Alethea membalas tak mau kalah.

"Gimana Adam, Al? Enak?" Kali ini Rendy menyela, membuat Alethea mengernyit bingung.

"Enak apanya? Gue nggak pernah lihat dia masak."

"Ya maksud gue semalem! Bukan masakan dia."

Tapi Alethea hanya ber-oh tanpa menjawab apapun. Wajahnya ia sembunyikan sambil berdalih mengambil hape yang bergetar di saku celana.

"Terus gimana kerjaan lo, Al? Mau nganggur?"

"Emm... Gue masih mikir. Mungkin balik freelance kayak dulu. Tapi nggak tau juga mau ambil yang kontrak atau nggak."

"Nggak mau ngelamar ke Steffan lagi?"

"Udah gila kali, Dy! Bisa nggak dibolehin kerja sama sekali gue."

"Wah. Tumben lo nurut aja sama cowok. Biasanya juga bilangnya 'ya terserah gue. Gue yang kerja, kenapa dia yang protes? Emang gue kerja sambil genit-genit? Kan nggak juga!'."

Alethea sempat meringis juga mendengar kata-kata Vidy barusan. "Itu cowok-cowok kan pacar doang. Sebagian malah bukan siapa-siapa. Kalo mas Adam kan suami gue. Malah gue yang masuk neraka kalau nggak nurut."

"Takut masuk neraka atau terpesona sama Adam, Al?"

"Terpesona apaan sih! Nyetir yang bener!"

Dua teman Alethea di bangku depan hanya bisa tertawa mengejek sementara Alethea sibuk membalas pesan dari Adam yang sejak tadi ia abaikan. Terpesona? Hmm....

.......

Alunan lagu mellow menyambut kedatangan Adam malam itu selain senyuman istrinya di balik pintu. Alethea benar-benar menikmati mendengarkan musik, ya?

"Had fun today?" tanya Adam sebelum mendapatkan anggukan juga senyuman dari istrinya.

"Mau disiapin air hangat, mas?"

Woah. She does know how to treat me right. "Boleh."

Selanjutnya Alethea langsung menghilang dengan tas dan snellinya ke dalam kamar. Tak sampai lima belas menit setelahnya perempuan itu sudah keluar lagi dan berkata, "Mandi dulu, ya? Aku siapin makan malam buat kamu."

"Kamu udah mandi?"

"Udah tadi. Pulang dari jalan-jalan langsung mandi kok," ujar Alethea. Genggaman Adam di tangannya tak menjadi masalah dan ia membiarkan laki-laki itu menariknya semakin dekat.

Perlahan tangan Adam bergerak, menyentuh lengan istrinya inci demi inci menuju pundak dan punggung Alethea. "Nggak mau mandi lagi? Mandi sama aku lebih bersih. Nanti aku gosokin bagian belakang badan kamu."

"Nanti siapin dinner nya lama, nggak pa-pa?"

"Aku lebih laper sama kamu daripada sama makanan."

Sejenak Alethea mengulum senyum dan tangannya bergerak mengalung di leher suaminya dengan senyumannya berubah menjadi senyuman nakal. "Sebelum airnya dingin dan kamu makin kelaparan, Mas."

----------

08/06/2018

edited : 09/24/2020

Impulse (editing)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang