Sepekan setelah Iqbal mengirim surat untuk mengajakku untuk Ta'aruf, aku tak pernah lagi melihatnya di kampus.
"Arkan.." Aku segera berjalan menghampiri Arkan yang sedang bermain gadget ditaman kampus. Tidak ada Iqbal disana.
"Assalamu'alaikum, Misha." Arkan mengalihkan fokusnya kepadaku.
"Wa'alaikumsalam, Kan." Aku duduk berjarak 1 meter darinya.
"Kenapa sha? Ada masalah dengan tugas yang dikasih sama Dosen tadi?" tanya Arkan.
"Eumm... Bukan. Tapi..." Aku ragu untuk bertanya pada Arkan karena aku dan Iqbal belum ada ikatan apapun.
"Iqbal?" tebak Arkan. Aku mengangguk pelan. "Ohh... Iqbal sedang keluar negeri."
Aku menoleh, mengangkat sebelah alisku. "Keluar negeri?" Arkan mengangguk seakan mengatakan 'iya'. "Ngapain?"
"Dia bakal ngelanjutin studynya disana. Dia dapat beasiswa untuk melanjutkan study diluar negeri." Seketika seluruh tubuhku terasa lemas. Pernyataan macam apa yang ku dapatkan ini?! Setelah sepekan lalu aku sedang ber-istikharah untuk memantapkan hati dan disaat hatiku telah mantap, kenapa dia malah pergi?
"Tenang aja, Sha. Iqbal gak lama kok disana. 2 Tahun lagi Insya Allah dia pulang."
Aku ingin sekali berkata 'What? Ga lama? 2 tahun itu lama Arkannn!'
"Setiba di Indonesia Insya Allah dia akan mengkhitbahmu." Lanjut Arkan.
Rasa senang, bahagia, sedih, kecewa semua bercampur menjadi satu.
"Padahal, aku baru saja akan memberikannya surat balasan Ta'aruf." ucapku dengan nada sedikit kecewa. Ralat, bukan sedikit tapi banyak.
"Iya, aku tahu kok. Aku sudah memberitahunya tadi, katanya kalau kamu mau menunggunya balik ke Indonesia kamu boleh kok nungguin dia. Tapi, kalau emang dia bukan jodohmu alias dalam 2 tahun ini ada seseorang yang datang mengkhitbah mu, maka Insya Allah Iqbal akan ikhlas melepaskanmu." Pernyataan yang begitu menusuk. Lembut tetapi itu terasa menyakitkan bagiku.
"Ohiya, dia pernah cerita. Bahwa sejak SMA dia sudah menyu-"
"Stop!" aku segera memotong pembicaraannya. Aku tak ingin mendengarkan lebih lanjut. Itu bisa membuat hati dan iman ku goyah.
"Terimakasih.." Aku segera beranjak meninggalkan Arkan tanpa menunggu lanjutan dari ceritanya.
Setelah kejadian di taman kampus bersama Arkan tadi. Aku memutuskan untuk pulang saja. Badanku terasa lemas dan tidak sanggup mengikuti materi dari dosen hari ini. Jika aku memaksakan, aku akan pingsan.
"Loh, Misha? Kenapa sayang?" Ibu menghampiriku "Kenapa wajahmu pucat? Ada apa sayang?"
"Gapapa kok bu.. Misha cuman kecapekan." Jawabku dengan nada lesuh.
"Yasudah, kamu istirahat gih dikamar. Ibu buatin susu kesukaan Misha, ya." Aku mengangguk pelan lalu berjalan menuju kamar, begitu pula dengan Ibu. Ia berjalan menuju dapur untuk membuatkan ku susu.
Aku merebahkan diriku di kasur kingsize yang muat untuk dua orang. Kata ibu, dia sengaja beli ini biar nanti nikah aku bisa tinggal dirumah bersama Ibu.
'Ceklek'
Terlihat sosok Ibu yang datang membawa nampan berisi segelas susu dan roti bakar. Ah, ibu emang paling tahu.
"Ini sayang.." Ibu meletakkan nampan itu dimeja yang berada disebelah kasurku.
"Iya bu. Makasih.." Aku bangkit kemudian meneguk segelas susu yang Ibu buat dengan tiga kali tegukan.
Ibu memperhatikanku, aku rasa sebentar lagi dia akan mengintrogasi ku.
"Misha.." Nahkan, benar apa kataku.
"Iya bu?" kata ku sambil meraih roti bakar yang Ibu buat.
"Bagaimana dengan Iqbal?" aku meletakkan kembali roti yang ku ambil tadi, tiba-tiba saja selera makanku hilang.
Aku menghela nafas panjang lalu membuangnya kasar, "Iqbal sedang diluar negeri bu"
Ibu tidak menunjukkan ekspresi kagetnya, dia malah tersenyum.
"Kenapa ibu senyum?" aku mengangkat sebelah alisku.
"Ibu sebenarnya sudah tau, sepekan yang lalu Iqbal datang kerumah." aku membulatkan mataku sempurna, tidak percaya dengan apa yang di katakan oleh ibu. Kenapa ibu tak memberi tahu ku?!
"Iqbal datang dan bilang sama ibu kalau dia mau melanjutkan studynya diluar negeri. Tapi, katanya dia akan cukup lama disana."
Aku diam.
"Iqbal akan meng-khitbah mu ketika ia pulang ke Indonesia. Itupun, kalau ayah tidak menjodohkan mu. Tapi... " ibu menggantungkan ucapannya, aku mengerutkan kening.
"Kenapa bu?" tanyaku cemas.
"Dua hari yang lalu ada yang datang menemui ayahmu."
"Iqbal?" Ibu menggeleng sebagai jawaban yang berarti 'bukan'. Lalu siapa?!
"Bukan Iqbal, tapi Daniel."
Daniel ?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEPERTIGA MALAM [END]
SpiritualAdakah cinta yang lebih indah dari Mencintai disepertiga malam? Ini cerita tentangku dan suamiku, yang saling mencintai disepertiga malam. Selamat menjadi saksi cintaku dan suamiku. Kisah kami ini hanya lebih menampilkan sisi romantis didalam rumah...