Bab 7. Kehadiran Masa Lalu

21.5K 2.1K 9
                                    

Daniel? Laki-laki itu...

Mau apa dia menemui Ayah?!

"Daniel ngapain bu nemuin Ayah?" aku mengubah posisiku, menjadi lebih dekat dengan Ibu.

"Daniel melamar kamu..." Tiba-tiba seluruh tubuhku terasa lemas, mulutku terasa kaku tidak tahu apa yang harus aku katakan.

Cobaan apalagi ini Ya Allah? Setelah mendengar kabar tentang kepergian Iqbal, aku malah mendengar kabar lagi dari ibu. Ini buruk, sangat buruk.

"Terus, apa yang ayah katakan?" tanyaku penasaran, semoga saja Ayah menolaknya.

"Ayah belum menerima lamaran dari Daniel, sepertinya ayah meminta persetujuan darimu."

Alhamdulillah. Ucap syukurku dalam hati.

"Bu... Aku sudah istikharah dan Misha sudah mantap dengan pilihan Misha, bu." Aku mengadu pada Ibu.

"Iya sayang, Ibu tau. Berdo'a saja yang terbaik ya." Aku mengangguk pelan dan melihat Ibu tersenyum.

"Misha..." suara bass yang terdengar sangat tidak asing ditelingaku saat aku berjalan menuju kamar tidurku, itu suara Ayah.

Pasti Ayah akan membahas perihal Daniel.

"Iya, yah?" Aku menoleh ke arah ayah yang sedang duduk mengamati tv yang ada dihadapannya.

"Tadi ada Daniel." Ucap ayah to the point. Aku segera berjalan menghampiri Ayah, dan duduk tepat disampingnya.

"Ngapain, yah?" tanyaku pura-pura tidak tahu akan hal itu, meskipun Ibu sudah menjelaskannya padaku tadi.

"Dia datang melamarmu.." aku terdiam "Tapi, ku dengar sebelum Daniel ada yang lebih dulu datang melamarmu?" lanjut ayah.

Aku makin terdiam kaku, aku tidak tahu harus bagaimana dan mengatakan apa pada Ayah.

"Namanya... I-i.." Ayah mencoba mengingat nama pria itu.

"Iqbal yah" ucapku memberitahu Ayah nama orang yang Ayah maksud.

"Iya, Iqbal. Kenapa dia tidak datang menemui Ayah seperti Daniel?!" Aku melihat perubahan raut wajah Ayah yang seperti tidak suka dengan sikap Iqbal yang terlihat tidak berani seperti Daniel.

"Ka-"

"Iqbal sudah bicara sama ibu, waktu itu Ayah lagi dikantor..." Potong ibu saat aku hendak menjelaskannya pada Ayah.

Ibu mengambil posisi tepat disampingku, karena beliau sangat tahu bahwa saat ini aku sedang gugup dan aku sedang butuh seseorang untuk menenangkan diriku.

"Apa katanya?" tidak ada perubahan apapun dari raut wajah Ayah.

"Iqbal sudah mengajak Misha untuk ta'aruf, namun ternyata tiga hari setelahnya Iqbal dapat kabar bahwa dia akan melanjutkan studynya ke luar negeri." Ibu tersenyum lalu menatapku. Aku membiarkan ibu menjelaskan semuanya pada Ayah.

"Sebelum berangkat ke luar negeri, Iqbal datang kerumah untuk menemui Ibu dan Ayah, tapi saat itu Ayah sedang dikantor. Jadi, Iqbal pamit dan menitip pesan pada Ibu."

Ayah bergeming.

"Iqbal akan melanjutkan belajarnya di Mesir selama 2 tahun, setelah dia kembali ke Indonesia dia akan mengkhitbah Misha. Namun, jika selama penantian Misha 2 tahun nanti, Misha sudah mendapatkan jodohnya. Maka Iqbal mengikhlaskan Misha." Aku menunduk saat mendengarkan penjelasan Ibu, dadaku terasa sesak.

Ada air bening yang tergenang di pelupuk mataku, sudah siap meluncur bebas membasahi pipiku. Namun, aku menahannya sekuat mungkin. Aku tidak boleh menangis didepan Ayah, terlebih lagi itu karena Iqbal yang bukan siapa-siapaku. Meskipun kami sudah ta'aruf bukan berarti kami sudah berhak melakukan hal yang tidak sepatutnya kami lakukan.

"Kalau begitu, Ayah tidak akan memaksa pilihan mu nak. Silahkan kamu beristikharah.." Ayah tersenyum dan mengelus lembut puncak kepalaku. Aku kembali menatap Ayah dengan tatapan yang berbinar.

"Iya, yah," Aku mengangguk pelan.

***

Drrrttt....Drrttt...

Alarm berbunyi, tepat pukul 2 dini hari. Aku terbangun melawan rasa kantuk yang diberikan oleh setan. Berusaha membuka satu-persatu tali yang diikatkan setan. Aku berusaha sekuat tenaga mengangkat tubuhku agar duduk, membaca doa setelah itu berjalan untuk mengambil air wudhu.

Melaksanakan hal yang sudah menjadi kebiasaanku saat dini hari, bermanja dengan Rabb-Ku.

"Duhai Allah, bila hamba jatuh cinta tolonh buat Hamba mencintainya karena-Mu.

Duhai Allah, bila rasa ini hanya nafsu belaka, tolong hilangkan rasa cinta ini.

Duhai Allah, maaf bila hati ini terpaut pada dirinya, pada ciptaan-Mu

Duhai Allah, maaf bila Hamba mencintainya sedang Hamba tahu Engkau Maha Pencemburu."

Sembari menunggu waktu subuh, aku mengambil diary kecil ku. Menuliskan beberapa kalimat.

Biarkan kini aku menjagamu dalam doaku.
Sebab, aku bukan seseorang yang handal dalam mencintai dalam diam layaknya Fatimah Az-Zahra.
Aku bukan seseorang yang berani mengungkapkan perasaanku layaknya Bunda Khadijah.
Aku juga bukanlah seorang pecinta sebenarnya layaknya Zulaikha.

Aku,
seseorang yang mencintaimu dalam diamku, berusaha menyembunyikan semuanya.
Aku tidak bisa menahan rasa cemburuku saat aku melihat engkau bersama wanita lain, meskipun itu sekedar temanmu. Bukankah itu egois? kamu bahkan bukan milikku.
Aku tidak bisa menahan kameraku untuk tidak mengarahkannya kepadamu lalu memotretmu yang sedang berincang dengan seseorang tanpa sepengetahuanmu.

Maaf,
Aku bukanlah seseorang yang handal dalam perihal mencintai dalam diam :)

-Mahveen Annisa-

***

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang