Bab 8. Daniel

21K 2K 7
                                    

Setelah kejadian sepekan yang lalu, aku tidak berhenti berdo'a dan meminta petunjuk kepada Allah atas pilihan yang ku hadapi. Hingga saat ini, aku mendapatkan jawabannya lewat kemantapan hatiku dan mimpiku semalam. Mimpi dimana Iqbal datang menemui ku dengan wajah yang tersenyum.

Ya Allah, semoga ini jalan yang terbaik yang engkau berikan. Bismillaah.

"Misha!" panggilan Fara membuatku menoleh ke arahnya. Dia berjalan menghampiriku, kemudian mendaratkan pantatnya di kursi kosong sebelahku.

"Ada apa?" tanyaku.

"Aku denger-denger nih... Iqbal dapat beasiswa ke Mesir?" Fara menatapku lekat.

Aku mengangguk pelan. "Iya"

"Loh?! Katanya Iqbal udah ngajuin ta'aruf sama kamu? Gimana dong?" Fara mengerutkan dahi.

"Iya, Ra. Iqbal emang udah ngajuin ta'aruf sama aku. Insya Allah, aku bakalan nungguin dia kok" Aku menarik kedua ujung bibirku membuat sebuah lekungan disana.

"Kamu yakin bisa nunggu selama itu, Sha? Dua tahun loh ini...." Tanya Fara yang tidak percaya dengan keputusan yang aku ambil.

"Insya Allah." jawabku mantap .

"Ra, kamu tau Daniel kan?" tanyaku padanya ketika ku lihat dia sudah paham.

Fara menangguk "Iya, tau. Mantan mu itu kan? Kenapa emang?"

Ya, Daniel memang mantanku dimasa SMA dulu. Di zaman aku masih belum mengenal Agama lebih dalam, sebatas melaksanakan kewajiban saja. Andai saja aku mengetahui lebih dulu bahwa pacaran adalah perbuatan sia-sia yang penuh dengan dosa, maka aku akan memilih untuk tidak berpacaran. Tapi, apa boleh buat? Semuanya sudah terjadi. Saat ini, aku hanya berusaha untuk menghindari hal buruk itu lagi dan lebih mendekatkan diri kepada-Nya.

"Iya," aku menghela nafas panjang lalu membuangnya kasar "sepekan yang lalu dia datang menemui Ayahku."

"Hah?! Untuk apa?" tanya Fara yang kurasa dia sedang kebingunan

"Dia melamarku" ucapku dengan nada yang sedikit lemah.

"Lalu? Ayahmu .. ?" Fara menggantungkan pertanyaannya, berharap aku mengerti.

"Ayah menyerahkan semuanya kepadaku."

"Jadi? Kamu akan menerimanya? Lalu Iqbal bagaimana? Apa kau akan menunggunya atau ..." cerocos Fara

"Fara.. satu-satu." Fara memperlihatkan sederet giginya, aku menggeleng pelan. "Insya Allah, aku akan menunggu Iqbal."

"Lalu, Daniel?" tanya Fara lagi,lagi, dan lagi. Sudah kayak wartawan aja.

"Yah, aku akan menjelaskan padanya. Insya Allah ini adalah jawaban istikharahku." aku tersenyum.

***

Aku berjalan menyusuri grandmedia yang lumayan besar ini, tempat favorit ku dikala kuliah telah usai dan aku mempunyai sejumlah uang untuk mengoleksi buku-buku.

Ya, aku sangat suka mengoleksi buku. Entah itu buku novel,buku cerpen,resep makanan,dan lain sebagainya. Bahkan dikamarku, aku membuat ruang khusus untuk koleksi buku-buku ku.

Sejak SMA aku bercita-cita menjadi seorang penulis. Penulis yang mampu memberikan banyak manfaat kepada para pembacanya. Hanya saja, aku terkadang susah merangkai kata-kata.

"Misha..." tegur seseorang kepadaku. Suaranya, sepertinya aku mengenali dia. Aku menoleh kearah sumber suara.

Dan benar saja, itu Daniel.

Daniel mendekati ku dengan wajah yang ceria. "Ya Ampun, kamu makin cantik."

Aku berjalan mundur dengan wajah tertunduk dan tanganku memeluk erat buku yang kuambil dari rak dihadapan ku tadi, sebisa mungkin menjaga jarak darinya. "Daniel, maaf.. Toloang berhenti disitu."

Daniel menghentikan langkahnya.

Hening...

"Apa ayahmu sudah menceritakannya?" tanya nya memecah keheningan.

"Cerita apa?" aku masih menundukkan wajahku, sebisa mungkin tak terlihat olehnya.

"Tetang lamaranku."

Deg.

Apa yang akan ku katakan padanya?

Aku mengangguk ragu. "Iya, ayah sudah menceritakannya padaku."

"Lalu, bagaimana jawabanmu?"

"Nanti ku beritahu, aku ingin membeli buku terlebih dahulu."

"Baiklah, aku menunggu mu dipintu luar." Daniel berlalu meninggalkan ku.

Aku mengangkat wajahku, melihat punggungnya yang sudah menjauh.

"Fiuh.. Apa yang akan aku katakan padanya?" pikirku. Dia adalah tipe orang yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan apa yang dia inginikan.

Ya Allah, aku menyerahkan segalanya kepadamu. pintaku dalam hati pada Sang Rabb.

***

Ternyata Daniel benar-benar menungguku. Padahal, aku sengaja berlama-lama memilih buku, agar dia lelah kemudian pergi meninggalkan ku.

Aku menundukkan pandanganku, berjalan tanpa menoleh kearah manapun. Berharap Daniel tak melihatku.

"Misha..." Aku menghentikan langkahku dengan wajah yang aku tenggelamkan dalam genggaman buku.

"Kenapa kamu mau pergi? Bukankah kamu akan memberikan jawaban?" tanya Daniel to the point.

"Maaf, aku kira kamu sudah pergi." Aku semakin menenggelamkan wajahku.

"Mana mungkin aku pergi tanpa mendapat jawaban darimu.." Ucapnya penuh keyakinan.

"Baiklah, kita duduk didepan sana." Aku menunjuk bangku yang ada didepan grandmedia. "Ingat, jaga jarak." Daniel mengangguk kemudia berjalan mendahului ku.

Aku menghela nafas kemudian mengikutinya.

Aku mengambil posisi duduk agak jauh darinya.

"Jangan pernah menoleh ke arahku." Tegasku. Kulihat dari sudut mataku, Daniel mengangguk mengerti.

Sekali lagi, aku menghela nafas panjang kemudian membuangnya kasar. Betapa beratnya hari ini.

Bismillahirrahmanirrahim..

"Maaf Daniel, aku tidak bisa menerima lamaranmu." Daniel menoleh kearahku tak percaya. Sebisa mungkin, aku memasang ekspresi santai dan rileks.

"Kenapa sha? Bukankah ini yang dulu kau mau?"

"Daniel.. tetaplah lihat kedepan." ucapku mengingatkan.

"Tidak.. jawab saja!!" Nada suaranya mulai meninggi. Aku mengucap istighfar sebanyak-banyaknya.

"Daniel.. dulu memang kita pernah mengucap janji untuk menikah. Tapi itu dulu, aku sudah menjauhi hal buruk itu. Bukankah sewaktu putus aku sudah menjelaskannya padamu?"

"Tapi, aku mencintaimu Misha! Sangat mencintaimu.."

"Daniel, simpanlah rasamu itu.. Allah tidak memberi kita restu untuk berjodoh."

"Apa maksudmu?!" suaranya semakin meninggi, sehingga aku merasakan bahwa aku dan Daniel menjadi pusat perhatian.

"Istighfar.." aku kembali mengingatkannya.

Ku dengar, dia mengucap Istighfar pelan. Syukurlah, ternyata sudah mulai ada perubahan darinya.

"Maafkan aku yang dulu menjanjimu dengan kata kata itu... Tapi, ini semua kehendak Allah. Allah maha membolak-balikkan hati"

Daniel terdiam, tak tahu harus mengatakan apa.

"Jujur saja, sebelum dirimu datang melamarku sudah ada seorang lelaki yang lebih dulu meminta restu kepada kedua orang tuaku.."

"Siapa dia?" Daniel menatap lurus kedepan

"Dia.. Iqbal, teman SMA ku dulu."

"Iqbal?!"

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang