Bab 21. Amanah ?

15.1K 1.4K 19
                                    

Sudah setahun aku menjalani bahtera rumah tangga bersama Iqbal, kekasih yang ku idam-idamkan sejak dahulu.

Sebisa mungkin aku menjadi istri yang baik untuknya. Setahun yang lalu pula aku ikut dengannya untuk melanjutkan study di Mesir, yang mengharuskan aku mengambil cuti kuliah selama setahun.

Aku dan Iqbal selalu berharap bisa segera mendapatkan amanah, yaitu anak. Namun, Qadarullah. Allah belum menitipkan amanah itu kepada kami. Mungkin, masih banyak yang perlu diperbaiki antara aku dan Iqbal.

Sesuai apa yang dikatakan Iqbal satu tahun yang lalu, sepulang dari Mesir kami akan tinggal di Bandung. Karena, Iqbal mendapat amanah untuk menjadi seorang guru di sebuah Pondok Pesantren yang ada di Bandung.

Aku banyak mendapat pelajaran di Mesir, salah satunya yaitu tentang bagaimana kehidupan di Mesir. Aku juga mendapat banyak teman disana, berharap aku bisa kembali kesana suatu saat.

"Ayo sayang, kita masuk dulu." ucap Iqbal saat kita sudah sampai di salah satu pondok pesantren.

Aku mengikuti instruksi Iqbal, kemudian berjalan beriringan dengan menggandeng tangannya.

Tempatnya lumayan luas dan bagus. Sepertinya semua santri disini akan merasa nyaman.

"Assalamu'alaikum.." ucap Iqbal sembari mengetuk pintu rumah yang berada di ponpes ini.

"Wa'alaikumsalam, eh nak Iqbal.." ucap sang pemilik rumah, "Ayo masuk.."

"Baru pulang dari Mesir ?" tanya pria separuh baya, yang aku tidak kenal.

"Iya, bi." Abi? Kenapa Iqbal memanggilnya dengan sebutan itu?

"Ini istri nya ya?" tanyanya, dengan tatapan yang mengarah kepadaku.

"Ehiya, bi. Ini istriku. Namanya Misha." akupun tersenyum ramah kepadanya, ia membalas senyumanku.

"Wah, sudah punya istri ternyata. Kirain belum, mau abi jodohin sama anak abi."

Apa-apaan ini ?! Tidak tau ya kalau perkataannya itu sedikit menyakitkan untuk aku sebagai Istri sahnya Iqbal ?!

"Ih abi, ga boleh gitu tau. Abi hargain dong perasaan istri Iqbal." ucap wanita paruh baya yang tiba-tiba muncul membawa nampan berisi minuman dan beberapa kue.

"Hehe, maaf ya nak Misha. Abi memang begini. Emang Abi dari dulu pengen Iqbal jadi mantunya dia, tapi Qadarullah. Maafin ya nak." lanjutnya.

"Heheiya gapapa." ucapku sedikit canggung.

"Sudah berapa lama nikahnya?" tanya wanita paruh baya itu lagi.

"Sudah 1 tahun umi." ucap Iqbal sembari tersenyum ramah kearah seseorang yang ia panggil 'Umi' tadi.

"Wah sudah lama ya, kok ga beri tahu ke Umi sama Abi?"

"Hehe, maaf umi takut umi sama abi kejauhan kalau harus nyamperin ke Makassar." Umi hanya mengangguk setuju.

"Sudah punya anak?" tanya seseorang yang Iqbal pangggil dengan sebutan 'Abi'.

"Belum, bi. Allah belum ngasih amanah untuk kami." raut wajah Iqbal berubah, Ya Allah apa yang harus aku lakukan.

Aku segera menggenggam erat tangannya,  berusaha menguatkannya melalui genggaman tanganku.

Aku tahu, Iqbal sudah sangat menginginkan amanah itu. Tapi, Allah belum memberi kami kepercayaan.

"Ah, sayang sekali. Seandainya, kamu nikah saja sama anak Abi pasti segera di berikan anak." ucapnya seolah menyombongkan diri, seolah sudah tau takdir Allah kedepannya seperti apa.

Aku menunduk, tak suka dengan ucapannya tadi. Aku ingin berkata bahwa sejak dulu akupun sudah sangat menginginkan amanah itu. Tapi, Allah berkehendak lain. Iqbal mengeratkan genggaman tangannya, seolah tau apa yang ku rasa. Rasanya ingin ku menangis dan memeluk Iqbal sekarang juga.

"Abi !" tegur Umi, "Ga boleh bilang gitu!"

"Nak Iqbal jadi akan mengajar disini?"  tanya Umi, mengalihkan pembicaraan.

"Insya Allah, um." jawab Iqbal tanpa melepas genggamannya.

Setelah banyak berbicara dengan Abi dan Umi yang kata Iqbal mereka adalah pemilik ponpes ini. Umi memberikan aku dan Iqbal fasilitas rumah yang terletak didalam ponpes. Tidak terlalu besar, hanya sederhana. Aku tak mempermasalahkan hal itu, yang penting aku bisa bersama suamiku.

"Sayang" Iqbal memeluk bahuku, aku segera menghentikan aktivitasku memindahkan pakaian dari koper ke Lemari.

"Iya mas?"

"Maafin kata-kata abi tadi ya." ucapnya mengingatkan ku kembali dengan apa yang Abi ucapkan tadi. Memang kata-kata itu menyakitkan untukku, tapi bagaimanapun juga aku tak boleh menyimpan dendam untuknya.

Aku sudah tidak dapat membendung tangis ku lagi, aku segera berbalik dan memeluk Iqbal.

"Maafkan aku mas, aku belum bisa memberikan apa yang mas inginkan. Aku juga ingin mas, tapi Allah belum memberikan kita amanah itu." ucapku dalam pelukannya

Iqbal membelai lembut kepala ku. "Tidak perlu minta maaf sayang.. Mas tidak masalah akan hal itu." ucapnya menenangkan ku, mencium lembut pucuk kepalaku.

***

Aku memutuskan untuk berjalan-jalan melihat pesantren yang luas ini. Tentunya, aku ditemani oleh Iqbal. Tak pernah ku lepas genggaman ku dari lengan Iqbal.

"Eh? Kang Iqbal?" sapa seorang wanita yang terlihat sangat anggun dan cantik. 

"Assalamu'alaikum, Maryam.." ucap Iqbal tanpa menoleh ke arah wanita yang bernama 'Maryam' itu.

"Ini adiknya ya, Mas?" Maryam menunjukku, membuatku menoleh kearah Iqbal.

"Bukan. Perkenalkan, namanya Misha, dia istriku." aku tersenyum kikuk kearahnya, kemudian mengulurkan tanganku.

"Misha." ucapku memperkenalkan diri.

Bukannya membalas, ia malah beralih menoleh kearah Iqbal. "Sejak kapan nikah? Kok aku ga tau." ucapnya dengan nada seperti tak suka dengan pernikahan kami.

"Maaf, ga sempat ngundang." jawab Iqbal seadanya, "Kami permisi dulu,yam. Istri ku mau melihat-lihat pesantren ini. Assalamu'alaikum." Iqbal menarikku meninggalkan Maryam yang sedang memasang wajah tak suka kepadaku, aku tersenyum manis kearahnya "Kami permisi dulu." ucapku sebelum menjauh darinya.

"Mas, ga boleh gitu. Ga sopan!" protesku. Aku tidak suka dengan sikap Iqbal seperti ini. Iqbal berhenti kemudian menghadap kearahku.

"Nanti kita bicarain dirumah ya sayang, katanya mau jalan-jalan." aku meng-iyakan perkataannya, ia kembali berjalan dengan merangkul bahuku.

***

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang