Bab 33. Menara Eiffel

11.5K 1.1K 11
                                    

Halo, maaf ya kemarin salah judul Bab nya hehe.
Makasih untuk respon baiknya. Kan kalu responnya baik gitu jadi semangat nulisnya.
Dari pada jadi pembaca ghoib ya khan 😆🙈

*Selamat membaca*

*********************************

Suhu yang sangat dingin membuatku terjaga dini hari. Benar-benar dingin, suhunya mencapai 0 derajat. Tidak perlu pakai AC atau kipas angin pun disini sudah sangat dingin, padahal semua jendelanya tertutup. Brrr

Aku menatap lekat wajah suamiku yang terlihat tenang dan adem, meskipun ia terlelap saat ini. Allah terlalu baik, Dia menjawab do'aku agar bisa bersamanya bahkan menikmati liburan di negara impianku berdua bersamanya. Ah, ralat! Bertiga.

"Mas, ayo tahajjud." tidak butuh waktu yang lama, Iqbal segera bangun.

"Ah, sudah jam berapa?" tanyanya sembari mengucek pelan matanya.

"Jam 3 mas.." Iqbal segera menutup mulutnya ketika ia menguap.

Iqbal segera beranjak lalu mengambil air wudhu. Ini sudah menjadi kebiasaan kami setelah berumah tangga. Bahka sebelum berumah tangga pun ini sudah menjadi kebiasaanku., menyebut namanya di sepertiga malam terakhir. Aku tidak pernah memaksa dalam do'aku agar aku benar-benar dipersatukan dengannya dalam ikatan halal. Aku hanya meminta pada Allah agar diberikan jodoh seperti ketaatan nya pada Sang Pencipta.

Aku tidak pernah ingin menitip salam padanya, menyapanya lewat pesan, mengajaknya bercanda. Aku hanya mendo'akannya di setiap tahajjudku. Apakah itu pengecut? Ku rasa tidak. Aku bahkan memintanya langsung pada pencipta-Nya tanpa sepengatuhan dirinya.

Sejak SMA hingga Kuliah aku menyukainya. Aku tidak menyukai Iqbal karena ketampanannya, bukan juga karena hartanya apalagi popularitasnya sebagai Ketua Rohis waktu itu. Tapi, aku mencintainya karena ketaatan nya pada Sang Pencipta, contoh kecilnya ia selalu melaksanakan sholat tepat waktu, sesuai ajaran Rasulullah Salallahu 'Alaihi Wassallam.

Bukankah pria seperti itu yang di idam-idamkan oleh kaum wanita?

Akupun tidak pernah berpikir dia akan seromantis ini saat telah menikah dengannya. Ternyata aku salah, ia bahkan sangat romantis setelah akad terucap dari lisannya hingga saat ini. Iqbal selalu berusaha meneladani sikap Rasulullah kepada para istri beliau.

"Mas, aku mau ke menara Eiffel yaa.." pintaku padanya ketika usai melaksanakan sholat subuh.

Kami selalu menunggu waktu subuh disaat kami telah mengerjakan sholat tahajjud disepertiga malam terakhir. Kami akan menunggu waktu subuh dengan tilawah atau berdzikir. Atau bahkan ia terkadang membacakanku beberapa hadist dan kisah-kisah yang terjadi di zaman Rasulullah.

"Mau lihat sunrise disana, Hm?" Iqbal menatapku sembari tersenyum seakan tahu apa yang aku inginkan.

Aku menyengir. "Hehe, iya mas."

Iqbal merogoh sesuatu didalam tasnya.

"Mas, itu kamera punya siapa?" tanyaku ketika melihat ia mengeluarkan sebuah kamera yang sangat aku impikan sejak kuliah.

"Punya kamu. Mas beliin sehari sebelum kita berangkat, aku tahu kamu pasti akan mengambil banyak gambar selama perjalanan." Senyuman itu seakan tidak pernah lepas dari wajahnya yang tampan itu.

Aku tidak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku. Aku tersenyum bahagia, ia selalu tahu apa yang aku inginkan. "Terimakasih mas."

Iqbal menyerahkan kamera itu kepadaku, aku mengambilnya dengan perasaan yang luar biasa gembira.

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang