Bab 28. Humairah

13.5K 1.3K 24
                                    

Aku sangat khawatir dengan apa yang diucapkan Maryam beberapa hari yang lalu. Aku tidak habis pikir, ada apa dengan dia? Bukankah banyak pria sholeh yang lebih baik dari Iqbal diluaran sana? Kenapa ia sampai ingin merebut Iqbal dariku?

Bukankah perbuatan itu tercela dalam islam?

Tetapi, sebisa mungkin aku tetap berpikiran positif. Mungkin itu semua perkataan setan yang terus menghasutnya hingga ia tidak sadar mengatakan hal itu.

Aku dan Iqbal sudah memiliki rumah sendiri, meskipun sederhana tapi setidaknya aku dan Iqbal bahagia. Iqbal betul-betul meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di Pesantren milik Abah Maryam. Itu semua ia lakukan hanya untuk menjaga perasaanku.

Aku pernah berpikir untuk menjadi selebgram di Instagram, mengingat penghasilan yang didapatkan oleh selebgram itu tidak sedikit. Namun, Iqbal tidak menyetujuinya. Ia melarangku dengan amat tegas untuk tidak terjun ke dunia itu.

"Demi Allah, mas tidak akan pernah Ridho dengan keputusanmu itu. Lebih baik mas bekerja keras walaupun penghasilannya tak seberapa daripada engkau memamerkan dirimu didunia maya hanya untuk uang yang tidak ada gunanya." ucapnya setelah aku meminta izin padanya.

"Mas mau wajah cantikmu ini hanya untuk mas seorang, biarlah mas yang menikmati keindahan wajahmu. Mas sungguh tidak rela jika ada pria lain yang memandangmu lapar. Biarkan mas yang menghidupi mu yah, Humairahku." lanjutnya.

"Tapi mas, foto yang ku upload kan pakai Niqob. Kan lumayan mas bisa dapat endorse trus dibayar." ucapku masih berusaha untuk mendapatkan izinnya.

"Humairahku, dengar yaa.." Iqbal menangkup lembut kedua pipiku, menatapku lembut dan penuh makna. "Untuk apa dirimu menutup auratmu dengan sempurna dan rapat jika engkau memamerkannya di dunia maya? Hanya untuk pujian? Hanya untuk sebuah uang yang tidak ternilai?"

Aku terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Sepertinya, Iqbal sedang marah. Walaupun kata katanya selembut itu, tetapi jika ia sudah memakai kata "Humairah" dan "Engkau" itu pertanda ia sedang marah.

"Pokoknya, mas tidak akan pernah setuju dengan keputusanmu itu. Mas mau wajah cantik istri mas ini untuk mas seorang." lanjutnya lagi ketika aku tidak memberikan jawaban apapun.

"Tutuplah matamu." Perintahnya yang segera kuturuti.

Sedetik kemudian, Iqbal mendekap tubuhku, membawaku kedalam pelukannya dan menciumi pucuk kepala ku dengan lembut.

"Maaf, mas tidak bermaksud untuk memarahimu." ia mengelus pelan pundakku, "Kemarahan mas hilang hanya dengan memelukmu seperti ini."

Air bening meluncur bebas dipipiku dan membasahi sebagian baju Iqbal. "Apa kau menangis?" Iqbal segera melepaskan pelukannya dan melihat wajahku yang sudah basah.

"Maafkan mas. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk memarahimu." ia terus meminta maaf padaku.

"M-mas.." ucapku disela-sela tangisanku. "Ma-maafkan aku. A-aku su-sungguh berterimakasih pa-pada Allah ya-yang mengirimkan ku pe-pendamping hidup se-seperti mu m-mas.." ucapku disela isakanku.

Iqbal mengusap pelan pipiku, menghapus jejak air mata yang membasahi wajahku. "Sayang, tidak usah berterimakasih. Mas senang bisa bersamamu, teruslah menjadi pendamping hidup mas dalam keadaan apapun ya."

"Mas telah memilihmu untuk menjadi pelengkap dan penyempurna agama mas. Kamu ku pilih untuk menjadi Madrasah pertama untuk anak-anakku kelak." ia tersenyum kearahku.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya seakan sihir yang selalu bisa membuatku tenang. Tutur katanya yang lembut dan sopan, itu yang aku sukai dari dirinya. Betapa beruntungnya diriku, mas.

CINTA SEPERTIGA MALAM [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang