"Mas, Maryam tadi siapa?" tanyaku setelah kami memasuki rumah yang akan aku tempati dengan suamiku selama ia mengajar disini.
"Dia anak abi Arif.." aku mengerutkan kening, Siapa lagi Abi Arif itu?
"Abi arif itu pemilik ponpes ini, yang siang tadi kita kerumahnya.." lanjutnya setelah tau arti dari raut wajahku tadi.
Jadi, itu putrinya yang ingin dijodohkan dengan Iqbal? Lumayan cantik sih dibanding aku.
"Kenal abi Arif itu dari mana mas?" tanyaku sembari membuat makan malam untuknya.
"Abi Arif guru aku sejak masih SMA." Guru? Waktu SMA aku tak punya guru yang bernama Arif, lagian aku sama Iqbal sekolah di Makassar bukan di Bandung.
"Guru? Maksud mas?" tanyaku bingung.
"Dulu, abi Arif tinggal di Makassar. Sejak SMA aku selalu datang kepadanya untuk belajar ilmu agama." jelasnya. "Apa makanannya sudah siap? Mas laper nih.." keluhnya sembari mengelus-elus perutnya.
"Nih sudah.." aku menghidangkan masakan kesukaannya, Itik palekko khas Sulawesi selatan.
***
5 menit yang lalu, Iqbal pamit karena sudah waktunya ia berstatus menjadi 'Guru' diponpes ini.
Baru ditinggal 5 menit saja aku sudah rindu. Emang ya kalau udah nikah itu pasti bawaannya pengen sama pasangan mulu.
Aku berjalan menuju dapur, berniat untuk membantu segala keperluan yang ada didapur daripada tinggal diem doang di kamar? Hehe.
"Eh, ini istrinya Kang Iqbal ya?" tanya seorang wanita yang setengah wajahnya ditutupi oleh sehelai kain.
Aku mengangguk lalu tersenyum. Ya, memang aku belum Istiqomah memakai niqob. Aku hanya memakainya saat pergi ke tempat ramai. Toh, memakai niqob juga sunnah?
"Masya Allah, cantik nya." pujinya padaku, "Kenalkan, nama saya Jamilah panggil saja milah." ia mengulurkan tangannya dengan segera ku balas.
"Misha." aku masih mempertahankan senyumanku.
"Milah? Ngapain disini ngobrol sama dia?" tegur Maryam yang tiba-tiba datang dengan nada yang tinggi, "Kan tugas mu didapur buat nyediain makanan! Bukan disini buat ngobrol sama dia yang ga penting ini !"
"I-iya, saya permisi dulu." Milah berlalu dengan perasaan yang sepertinya takut.
"Lo ngapain disini?" ia melemparkan pertanyaan kepadaku, berbeda dengan caranya berbicara dengan Iqbal.
"Engh... mau bantu-bantu disini." aku terheran, kenapa dia begitu ketus padaku? Kemarin sama Iqbal dia lembut sekali?
Aku segera menepis segala pikiran negatifku, mungkin dia lagi pms.
"Baguslah, sana!" ucapnya dengan nada memerintah.
Sabar.
Sabar.
Sabar.
Orang sabar makin disayang suami. Sabar.Aku segera berjalan menghampiri Jamilah yang sedang sibuk dengan segala bumbu dapur.
"Biar ku bantu." tawarku, "Mau buat apa?"
"Eh? Ga usah Misha, biar saya saja." tolaknya.
"Mau buat apa?" tanyaku mengabaikan perkataannya tadi.
"Engh- Mau buat telor dadar, sayuran, sama ikan goreng" aku mengangguk kemudian segera mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat itu semua.
"Eh, ga usah. Biar aku aja." ia segera merebut bahan-bahan itu dari tanganku.
"Gapapa Milah, aku kan mau niat bantu. Masa ga boleh sih?" ia terdiam. "Sini" aku kembali mengambil bahan-bahan dapur yang ia rebut tadi.
Aku dan Jamilah sibuk membuat makan siang untuk para santri dan santriwati yang ada diponpes ini.
"Milah.." aku membuka pembicaraan ketika semua makanan sudah siap.
"Iya, sha?" tanyanya.
"Maryam emang gitu ya?" ia mengerutkan keningnya bingung. Meskipun hanya mata yang terlihat, yang lain tertutup rapat. Aku masih bisa merasakan ekspresi yang sedang ia pasang diwajahnya.
"Maksud aku, nada bicaranya emang ketus gitu?" jelasku.
"Ohh.. Ya emang gitu sih dari dulu. Tapi.."
Aku mengangkat kedua alisku, menunggu ia melanjutkan perkataannya.
"Tapi, kalau sama Kang Iqbal nada bicaranya beda." ia melanjutkan pembicaraannya sedikit berhati-hati.
Aku mengangguk paham, "Afwan, sha. Aku ga ada maksud apa-apa. Cuman..."
"Iya, gapapa kok mil." potongku kemudian tersenyum kearahnya.
"Sudah waktunya jam istirahat, aku ke Mas Iqbal dulu ya mil." pamitku setelah melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 9:50.
***
Aku mengurungkan niatku untuk menghanpiri suamiku ketika aku melihatnya sedang berbicara dengan Maryam.
Maryam memang terlihat berbeda jika dihadapan Mas Iqbal. Senyum tak pernah pudar dari wajahnya, walau Mas Iqbal tak pernah menoleh kearahnya.
Berbeda ketika berhadapan denganku dengan Jamilah tadi, tak ada senyum sedikitpun yang terukir diwajahnya.
Astagfirullah...
Aku kembali melanjutkan langkahku menemui suamiku, pasti ia sudah lapar.
"Assalamu'alaikum.." Maryam dan Iqbal menoleh kearahku, membuat senyum Maryam memudar.
"Wa'alaikumsalam." Iqbal tersenyum ke arahku.
"Dari mana sayang?" tanya nya, ketika aku menghampirinya lebih dekat.
"Dari dapur mas, bantu Jamilah siapin makanan." sesekali aku menoleh kearah Maryam yang masih memasang muka masam.
"Aduh, istriku perhatian sama santri tapi suaminya lupa disiapin." Iqbal menarik hidungku gemas.
"Mau aku siapin Kang?" tanya Maryam dengan nada sedikit semangat.
Aku menoleh heran kepadanya, tidak dengan Iqbal. Ia tetap menatapku dengan ekspresi tenang.
"Makasih, tapi aku sudah punya istri." tolak Iqbal halus. Aku tersenyum.
"Istri macam apa itu, ga siapin suaminya makanan." sindirnya dengan senyum seperti senyum evil (?) Entahlah, akupun tidak tahu.
"Ayo, katanya mau masakin masakan kesukaan Mas?" ia merangkulku, tidak menggubris perkataan Maryam tadi.
Aku mengangguk pelan, kemudian tersenyum ramah kearah Maryam.
"Assalamu'alaikum.." pamit Iqbal.
Aku jalan beriringan dengan Iqbal yang merangkul bahuku, perasaan tidak enak pada Maryam meliputiku.
"Mas kok gitu sih sama Maryam?" tanyaku tak suka dengan sikap Iqbal tadi.
Bukannya menjelaskan ia malah tersenyum. Menyebalkan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA SEPERTIGA MALAM [END]
SpiritualAdakah cinta yang lebih indah dari Mencintai disepertiga malam? Ini cerita tentangku dan suamiku, yang saling mencintai disepertiga malam. Selamat menjadi saksi cintaku dan suamiku. Kisah kami ini hanya lebih menampilkan sisi romantis didalam rumah...